Dua gadis ini mengaku sebagai mahasiswi tingkat tiga Perguruan Tinggi Kedokteran di Klaten, Yogyakarta. Yang agak gemuk dan berpipi bulat memperkenalkan diri sebagai Soetanti. "Seingat saya mereka datang untuk silahturami," kata Hasan, yang kini sudah berumur 85 tahun.
Soetanti, yang akrab dipanggil teman-temannya "Bolletje", datang lagi di kemudian hari. Dengan teman yang lebih banyak, Soetanti datang atas nama Sarekat Mahasiswa Indonesia. Mereka mengundang Aidit sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda PKI cabang Solo untuk memberikan ceramah soal politik dan keorganisasian.
Karena urusan organisasi ini, Soetanti sering bolak-balik Klaten-Solo. Kunjungan berikutnya, tak ke kantor Bintang Merah, tetapi ke kantor PKI, Jln Boemi 29. Dari pertemuan-pertemuan inilah hubungan Aidit-Soetanti kian akrab. Padahal, keduanya ini memiliki watak yang saling bertolak belakang. Soetanti adalah orang yang periang, gampang akrab, dan suka bicara ceplas-ceplos, sedangkan Aidit seorang pemuda yang serius, tak pandai berkelakar, dan suka musik klasik. Menurut Hasan, yang dipikirkan Aidit hanyalah tentang bagaimana memajukan partai. Obrolannya, tak lepas dari soal-soal politik, patriotisme, dan revolusi.
Gara-gara karakternya ini, Soetanti kesengsem. Dalam ceramahnya, Aidit memang fasih mengutip filsafat Marxisme, mengurai revolusi Prancis dan Rusia, juga soal politik mutakhir. Ketika Aidit berpidato, Soetanti pasti duduk dibangku paling depan.
Kabarnya, meski akrab. Aidit-Soetanti tak pernah berduan. Hasan Raid, yang kemudian diangkat anak oleh Siti Aminah -Ibu Tanti- karena sama-sama berdarah Minang, tak pernah melihat Aidit ngapek ke asrama atau rumah Soetanti layaknya orang pacaran. Pertemuan keduanya pun selalu dalam organisasi, kalau pun menginap di kantor PKI, Soetanti selalu mengajak teman-temannya.
Suatu ketika, setelah pidato, Aidit menyerahkan sepucuk surat kepada Soetanti, alamat yang dituju adalah Bapaknya Moedigdo, Ayahnya yang seorang kepala polisi di Semarang dan aktif Partai Nasional Indonesia. Isi surat tersebut berisi lamaran kepada Soetanti.
Pada awal tahun 1948, Aidit, 25 tahun dan Soetanti 24 tahun menikah secara Islam tanpa pesta di rumah KH Raden Dasuki, sesepuh PKI Solo, yang juga sebagai penghulu. Kali ini, hanya dua adik Aidit yang datang dari Belitung, Murad Aidit dan Sobron Aidit.
Setelah menikah, kegiatan Aidit di partai dan pergerakkan tak pernah surut. Ia bahkan sering meninggalkan istrinya yang buka praktek dokter dengan turun dari satu kampung ke kampung lain, guna memperkenalkan program-program PKI.
September 1948, "Peristiwa Madiun" meletus, Aidit ditangkap, lalu buron ke Jakarta. Soetanti sedih karena Ayahnya yang mendukung Amir Syarifudin tewas tertembak. Di Jakarta, Aidit jarang di rumah. Soetanti hanya ditemani adik-adik Aidit ketika melahirkan Ibraruri Putri Alam, 23 November 1949. Mereka berdua jarang bersama-sama, kecuali dalam acara partai atau kenegaraan.
Pada tahun 1951, Aidit menjadi Ketua Politbiro -eksekutif dalam partai- PKI. Ia kian sibuk dengan kegiatan ke luar negerinya, mengunjungi dan menghadiri rapat-rapat komunis bertaraf internasional di Vietnam, Tiongkok, dan Rusia.
"Tak ada mesra-mesraan seperti pasangan muda," ungkap Fransisca Fanggidaej, seorang wartawan Harian Rakjat, yang kemudian menjadi anggota parlemen dari PKI tahun 1957-1959. Wanita inilah yang satu-satunya akrab dan kenal dengan Aidit. Selama perkawanannya, Aidit tak pernah curhat tentang soal pribadi kepadanya, apalagi hasrat kepada perempuan lain. Padahal, Aidit dikagumi banyak perempuan lain, "Selain ganteng, berwawasan luas, ia pandai menyenangkan dan menghargai orang," komentar Fransisca.
Aidit bersikap antipoligami dan antiperselingkuhan dan hampir menjadi garis partai. Ia pernah memarahi Njoto, Wakil Ketua II CC PKI, yang akan menikah lagi dengan seorang gadis penerjemah asal Rusia. Menurut Oey Hay Djoen, mantan anggota parlemen dan Dewan Pakar Ekonomi PKI, selama masa kepemimpinan Aidit, banyak anggota PKI yang diskors karena ketahuan memacari istri orang.
Jl.Purnosari, Solo, mungkin maksudnya Jalan Purwosari Solo.
ReplyDelete