Friday, 11 November 2011

Peran Aidit Menjelang Proklamasi

Menjelang proklamasi, Aidit tergabung dalam aktivis pemuda antifasis dari Asrama Menteng 31 (Sekarang bernama Gedung Joang 45). Rabu, 15 Agustus 1945, pukul 11.30 malam, sekelompok anak muda bergegas keluar rumah di Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Mula-mula, Chaerul Saleh dan Wikana lalu D.N Aidit, Djohar Noer, Aboebakar, Soebadio Sastritomo, Soeroto, dan Joesof Kuento.

Para pemuda ini baru saja mendesak Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan RI, tetapi beliau menolak, demikian juga dengan Moh. Hatta yang datang belakangan. Dalam catatan sejarah, mereka bertengkar hebat antara pihak pemuda dan Soekarno.

"Sekarang, Bung! Malam ini juga kita kobarkan revolusi," ujar Chaerul Saleh. "Kalau Bung tidak mau mengumumkan proklamasi, besok akan terjadi pertumpahan darah," sambung Wikana berapi-api. Bung Karno marah, "Ini batang leherku,"katanya sambil berteriak di dekat Wikana. "Seret saya ke pojok itu dan potong malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari!"

Mereka pulang dengan marah-marah, cerita dari Murad Aidit. Murad melihat sendiri kakaknya ini sedang rapat rahasia di bawah pohon jarak di belakang kebun bekas Institut Bakteriologi Ejkman, Pegangsaan, empat jam sebelumnya. Aidit datang dengan membonceng sepeda Wikana. Mereka berkumpul setelah mendengar berita dari BBC, London, yaitu kabar bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Mereka khawatir Jepang menyerahkan Indonesia kepada Belanda.

Kamis berikutnya, para pemuda yang dipimpin Soekarni menjalankan rencana B, yaitu menculik dan membawa  Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok.

Ada beragam versi peran Aidit, ketika 22 tahun itu, di sekitar proklamasi, yaitu keikutsertaan Aidit bersama rombongan menculik Seokarno-Hatta. Budayawan dan penerjemah, Oey Hay Djoen mengatakan, "Hatta amat menyukai Aidit yang cerdas dan berani. Belakangan, ketika Aidit mulai terlibat dengan kelompok Kiri, Hatta marah, "ujarnya.

Setelah proklamasi, pada awal September, aktivis Menteng 31 membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API). Wikana menjadi ketua, sedangkan Aidit menjadi ketua di Jakarta Raya. Menurut Sidik, salah satu siswa sekolah Dokuristu Juku (Asrama Kemerdekaan kala itu), ketika itu barisan buruh dan tani memprakarsai sebuah rapat raksasa di Lapangan Ikada (sekarang Monas) untuk mendukung para pimpinan negara. Namun, hingga waktu yang direncanakan Bung Karno tak muncul. Tiba-tiba di bawah todongan moncong senjata tentara Jepang, Aidit dan Suryo Sumanto naik podium. Mereka mengajak massa menyanyikan lagu perjuangan, antara lain Padamu Negeri dan Maju Tak Gentar. Massa pun tenang ketika Bung Karno datang.

Gara-gara peristiwa itu, tentara Jepang merazia Asrama Menetng 31. Para pemimpin API, termasuk Aidit dibawa ke penjara Jatinegara. Setelah berhasil menyogok penjaga penjara, mereka kabur. Aidit kembali ke jalan, memimpin API Jakarta untuk melakukan serangan-serangan kecil ke tentara NICA yang membonceng sekutu, September 1945.

Para aktivis API ini bermarkas di tepi Jalan Kramat Raya. Sebuah gerbong trem sengaja mereka taruh di depan pos untuk bersembunyi saat membidik patroli sekutu. Hampir setiap jeep sekutu yang melaju dari Markas Batalion X di Lapangan Banteng menuju Jatinegara mereka tembaki. Kalau dikejar, mereka berpencar melarikan diri ke perkampungan Kramat Pulo. Kejadian itu terjadi berulang-ulang hingga Sekutu meledakkan markas API.

Puncak aktivitas Aidit pada periode kemerdekaan adalah pada tanggal 5 November 1945. Ketika itu, Aidit bersama sekelompok pemuda menyerbu pos pertahanan KNIL atau tentara Kerajaan Hindia Belanda. Namun sial, mereka kepergok patroli tentara Inggris dengan lima truk. 30 aktivis tertangkap, termasuk Aidit. Belanda lalu membuangnya di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu.

Aidit bebas setelah tujuh bulan kemudian, setelah kesepakatan Hoge Voluwe di Belanda pada tanggal 24 April 1946. Ketika itu, ibukota sudah berpindah ke Yogyakarta. Cuma sehari di Jakarta, Aidit menyusul teman-temannya ke Yogya melalui kereta dari Karawang.

Aidit
    

No comments:

Post a Comment