"Abang saya paling jarang meminta sesuatu kepada Bapak," kata Murrad Aidit, adik kandung Aidit. Kalau sudah sampai meminta sesuatu, itu artinya tekad Aidit sudah benar-benar bulat.
Menurut tradisi di sana, seorang remaja akan diijinkan merantau dengan 4 syarat, yaitu memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri, sudah disunat, dan sudah khatam mengaji. Keempat syarat itu pun sduah dipenuhi Aidit, tutur dari adiknya kandungnya yang lain, Sobron Aidit.
Setibanya di Batavia, Aidit ditampung di sebuah rumah kawan ayahnya, Marto, seorang mantri polisi. Ketika itu pendaftaran MULO sudah tutup, akhirnya Aidit hanya bersekolah di Middestand Handel School (MHS), sebuah sekolah dagang, Jl Sabang, Jakarta Pusat. Bakat pemimpin dan idealismenya langsung tampak dan menonjol, yaitu mengorganisasi kawan-kawannya untuk melakukan bolos masal untuk mengantar jenasah Muhammad Husni Thamrin, yang ketika itu dimakamkan. Karena keaktifannya ini, Aidit tak pernah lulus dari MHS ini.
Tiga tahun di Cempaka Putih, Aidit pindah ke sebuah rumah di Tanah Tinggi 48, kawasan Senen. Ketika indekos di sini, Murad datang, menyusul dari Belitung untuk bersekolah. Menyekolahkan dua anak jauh dari rumah, tentu tak mudah apalagi ketika masa penjajahan Jepang tahun 1942. Karena kiriman uang macet, Aidit membuat biro iklan dan langganan surat kabar Antara. Selain itu, juga menjual buku dan majalah.
Tak puas dengan perkembangan usahanya, Aidit mengajak teman stau indekos, Mochtar untuk berkongsi. Rekannya ini adalah seorang penjahit yang mempunyai toko besar di Pasar Baru. Karena lokasinya strategis, toko Mochtar menjadi tempat mangkal para aktivis masa itu, misal Adam Malik dan Chaerul Saleh. Jaringan relasi Aidit semakin luas. Namun, situasi ekonomi semakin memburuk hingga Murad harus kembali ke Belitung. Di gPelabuhan Tanjung Priok, Aidit menyaksikan ribuan orang yang berduyun-duyun menjarah aneka barang dari gudang-gudang perkapalan, misal mesin ketik, gulungan kain, ban mobil, dll.
Situasi politik Jakarta yang ramai, memang menarik minat Aidit sejak awal. Pertama, dia bergabung dengan Persatuan Timur Muda (Pertimu). Perkumpulan ini dimotori Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), di bawah pimpinan Amir Syarifudin dan Dr. Ahmad Kapau Gani. Dalam waktu singkat, Aidit diangkat menjadi ketua umumnya.
Di balik karir politiknya yang semakin menjulang, Aidit mencoba mengibaskan bayang-bayang masa lalu di Belitung. Ketika Murad meminta bantuan keuangan, Aidit selalu menolaknya. Suatu kali, Aidit pernah berujar bahwa persamaan di antara mereka hanya faktor kebetulan karena dilahirkan dari Ayah dan Ibu yang sama. "Selebihnya tak ada hubungan apapun di antara kita," katanya. Sekitar masa-masa inilah Aidit berganti nama menjadi Dipa Nusantara Aidit karena perhitungan politiknya dan mulai membaca resiko. Proses perubahan namanya ini pun tidak bisa diterima oleh Ayahnya karena sudah tercetak di slip gajinya sebagai putra sulung keluarga itu. Namun, akhirnya Ayahnya menyerah dan sepakat akan menaggantinya jika sudah ada pengesahan dari notaris dan kantor Burgelijkse Stand atau catatan sipil.
Aidit
No comments:
Post a Comment