Tuesday 5 December 2017

Novel "Anak-anak Minyak" Angkat Embrio ke-Indonesia-an


Latar tempat novel “Anak-anak Minyak” karya Imperial Jathee ini bernama Pangkalan Brandan. Pangkalan Brandan, sebuah nama daerah yang memang terdengar asing di telinga kita, tapi memiliki nilai sejarah yang harus diketahui banyak orang. Semasa Pemerintahan Kolonial Belanda, Pangkalan Brandan menjadi daerah penghasil minyak bumi atau emas hitam pertama di Hindia.

Han,s, kelahiran Gorontalo, memiliki sebuah pengalaman yang tak terlupakan seumur hidupnya di Pangkalan Brandan dan kota Medan, Sumatera Utara. Latar belakang cerita ini adalah era jaman Hindia Belanda.Papanya, seorang kerani perusahaan minyak Belanda, BPM. Karena itu, Han,s dapat merasakan pendidikan yang cukup, yaitu HBS di kota Medan. Ini menjadi keistimewaannya.

Pengalamannya yang menarik terjadi dari Pangkalan Brandan hingga Medan. Ia begitu tertarik dengan pesona alamnya. Ia mempunyai tiga kawan di H.B.S, yaitu Thamrin, Rustam, dan Yohan. Ia juga berkenalan dengan gadis cantik, yaitu Julico dan Lauren,s Kakaknya, seorang gadis Belanda asli. Dengan tukang cukur, Pak Wursito dari Jawa, ia juga berkenalan. Pak Bilson, seorang pekerja BPM, juga memberikannya banyak info tentang Jong Bataks dan pergerakkan pemuda Indonesia lainnya.

Berikut ini, kekaguman tokoh Han,s kepada tokoh Julico,”Kini kupegang jari-jari tangannya. 
Kurasakan begitu halus dengan kuku yang begitu berwarna putih. Kami berdua mulai bercerita tentang Brandan lagi, tentang pasirnya yang putih dan debur halus ombak yang biru dengan buihnya. Dulu, Julico bertanya tentang siapa penemu minyak bumi pertama kali di Brandan kepadaku. Aku tak bisa menjawab. Jawabnya yaitu Tuan Aeliko Janszoon Zijlker. Orang yang tak pernah kukenal, tapi menjadi kuketahui gara-gara Julico. Entah, seperti apa rupanya.”



Karena latar belakangnya Papanya yang di BPM, Han,s pernah diajak ke pesta-pesta dari perusahaan minyak tersebut. Suatu kali, ada tamu di BPM, yaitu Tuan Pierre dari Prancis. Tak ada maksud tertentu, ia mengajak Tuan Pierre jalan-jalan ke Deli hingga merasa prihatin dengan keadaan buruh perkebunan di sana. Han,s menuliskan sebuah esai tentang keadaan di Deli di sebuah majalah ternama. Gara-gara tulisannya itu, ia sampai diberi teguran oleh Ibu Gurunya, Karel dan Direktur sekolahnya, Tuan Russel. Gara-gara esai ini, Medan juga menjadi bergejolak. “Indonesia adalah nama bangsaku, bukan Hindia,” kata Han,s suatu ketika.

Kepedulian tokoh Han,s juga muncul terhadap kaum buruh di Deli di novel “Anak-anak Minyak”, “Ketika itu, kau bilang ini bukan urusan kita, tapi kurasa kau telah salah karena mereka juga manusia, sama seperti kita, punya mata dan pikiran. Kata hatiku tak bisa menerima kenyataan itu,” ucapnya.

Gara-gara esainya di majalah, kota Medan menjadi kian goncang karena para gerilyawan menjadi begitu geram dengan perlakuan para mandor perkebunan di Deli. Julico, Medan, dan Pangkalan Brandan menjadi tiga hal yang berarti dalam hidup Han,s. Bagaimana, ketika Han,s harus meninggalkan ketiganya? Tidak hanya hatinya yang terluka, tapi juga perasaannya. Yuk segera baca saja novel ini. Novel “Anak-anak Minyak” bisa didapatkan di andipublisher.com.


Monday 27 November 2017

Kedasih, Sosok Wanita Jawa Rekaan yang Istimewa

Tokoh Kedasih dalam novel “Njai Kedasih” memiliki karakter tersendiri, misal ia bisa melihat mata lelaki yang hanya melihat kemolekan tubuhnya dan tidak tulus hatinya sehingga tak mudah takluk dengan rayuan laki-laki yang tertarik pada dirinya. Ia memang pernah memiliki suami beberapa kali, tapi raib dipisahkan maut hingga terusir dari kampungnya karena dianggap membawa kutukan.
Kedasih juga memiliki latar pendidikan yang lumayan, meski hanya sampai tingkat HIS (setara dengan SMP) sehingga ia bisa membuat heran kepada orang-orang Eropa yang ingin merendahkannya. Ia bukan wanita pada umumnya.



Kedasih juga wanita mandiri, bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, meski hanya berjualan kain batik di Pasar Senen, Batavia. Kedasih hidup berdua dengan Mbok Min, orang yang dipercayai Ibunda Kedasih untuk menemaninya. Ibundanya memang tak tega melihat Kedasih pergi sendirian.

Kedasih juga tidak seperti yang diceritakan dalam buku-buku sejarah. Ia tak menjual harga dirinya, seperti Nyai Dasima yang selingkuh dengan Baba Samioen, karangan G. Francis. Selain itu, Kedasih meski sudah janda tak suka main serong dengan laki-laki lain atau melayani godaan Raden Sewoyo yang sering nakal, seperti sosok Nyai Saipa yang serong dengan jongosnya si Tjonat, karangan F.D.J. Pangemanann. Hatinya lebih memilih menunggu seorang laki-laki yang akan resmi menjadi suaminya kelak. Kedasih, nyai yang setia.

Harapan Kedasih untuk menemukan laki-laki yang tepat terwujud ketika dirinya bertemu di trem dengan Tuan Heidel, Insinyur Kereta Api yang bermata biru. Hubungan keduanya pun berlanjut hingga Kedasih sering mampir ke Stasiun Beos. Mereka berdua memutuskan ke arah yang lebih serius. Apakah mereka menikah, baca novel Njai Kedasih ya.

Ketika Jepang datang, suaminya membantu KNIL mempertahankan Pulau Jawa. Selama perang berlangsung, mereka hanya berhubungan melalui surat. Hingga sampai suatu waktu tak ada lagi surat datang dari Heidel. Apakah Suaminya ini akan kembali? Dengan begitu sedih, Kedasih berjanji untuk terus menunggunya.


Novel “Njai Kedasih” pun pernah diteliti dalam sebuah skripsi. Dalam skripsinya untuk meraih Sarjana Pendidikan dari Universitas Jember, Yunita Nur Fadilah menyebut kajian poskolonial dipakainya untuk telaah mendalam tentang perlawanan terjajah terhadap kolonialisme. Pada novel Njai Kedasih karya Imperial Jathee, ada bentuk praktik kolonialisme Belanda yang di dalamnya mengandung dominasi kepemimpinan (hegemoni) yang dilakukan tanpa paksaan, tapi sebenarnya menyebabkan ketidakadilan bagi pribumi. Ketidakadilan yang diterima pribumi misalnya sebutan Nyai bagi wanita pribumi identik sebagai gundik atau istri simpanan dari Tuan Belanda.


Namun, Nyai Kedasih walaupun mendapat sebutan Nyai tidak menjadi gundik dari Tuan Belanda, Heidel. Sebagai wanita pribumi, ia juga mempertahankan budaya dengan mengenakan kebaya dalam kesehariannya dan juga memiliki keberanian untuk melawan dominasi yang berhubungan dengan kehidupan sosial pribumi. Ketidakadilan yang diterima Nyai Kedasih membuatnya melakukan peniruan (mimikri) bahasa. Melalui mimikri bahasa, Nyai Kedasih dapat menunjukkan eksistensinya sebagai pribumi dan dapat mengacaukan identitas Belanda. Nyai Kedasih yang mendapat pandangan rendah dari Nyonya Ruth (wanita Belanda) berani untuk membantah dan juga melakukan perlawanan (resistensi) fisik. Novel “Njai Kedasih” ini bisa didapatkan di andipublisher.com.


Tuesday 14 November 2017

Novel "Anak-anak Kampus", Kehilangan yang Menghidupkan #5

Jelang tahun 2018, saya luncurkan novel yang kelima. Novel terbaru ini diberi judul “Anak-anak Kampus” (disingkat: AAK). Ya, cerita ini memang 100 persen mengangkat kisah anak-anak kampus Jogja dan mengambil latar kota Jogja. Kegelisahan di masa kuliah coba direkakan dalam cerita novel AAK, termasuk keprihatinan terhadap masih tingginya buta huruf di daerah lereng Gunung Merapi. Novel ini jelas berbeda dengan novel-novel untuk usia young adult lainnya yang terkadang ceritanya terlalu “menye-menye”, melulu tentang kegombalan cinta yang klise.



Diceritakan, satu kisah anak-anak kampus yang mencoba mencari makna kehidupan. Castel, mahasiswa akhir jurusan Antropologi dari sebuah kampus Jogja, tergerak hatinya ketika banyak membaca artikel surat kabar yang memberitakan banyaknya buta huruf di kawasan lereng Gunung Merapi. Gara-gara berita itu, Castel memilih untuk sekalian melakukan penelitian perseorangan, sekaligus melakukan kegiatan sosial dengan unit kemahasiswaan antropologi untuk berperan serta. Tak lupa juga mengajak kawannya Kusuma dan adik-adik angkatan bawah untuk berperan, seperti Kikani dan Tarissa.

Berikut salah satu kutipan dari tokoh Castel dalam novel AAK : “Dari data yang aku dapatkan, wajar saja, kalau Indonesia dalam jajaran negara di dunia termasuk dalam daftar 34 negara yang memiliki penduduk dengan buta huruf tinggi dan berada pada peringkat tujuh setelah China, India dan Bangladesh. Aku kira jumlah penyumbang terbanyak pasti didominasi oleh penduduk dari lereng-lereng gunung di seluruh negeri ini yang belum tersentuh pendidikan. Ya salah satu contohnya, seperti di Lereng-lereng Merapi ini.”

Selain mengangkat rasa kepedulian sosial memberantas buta huruf dan bertemu sosok Wadi, anak lereng Merapi yang sering dicap masyarakat sekitar sebagai Tarsan Lereng, cerita ini juga menawarkan cerita tragis dari hilangnya sebuah pesawat terbang komersil hingga mempengaruhi kehidupan salah tokoh dalam cerita ini, Kikani. Castel pun menempatkan secara istimewa gadis ini di hatinya. Tetes air mata pun turut mengalir di antara gelak tawa anak-anak kampus ini.

Karena tak bisa menerima kenyataan, Kikani lari dari rumah hingga ditemukan dehidrasi dan sakit di sebuah padang ilalang di sisi lereng Merapi, sebuah tempat yang juga istimewa untuk Castel. Hari demi hari, Castel tak putus asa untuk membuat Kikani bisa kembali seperti semula. Apakah usaha Castel untuk mengubah keadaan berhasil? Arus bumi memang seringkali memaksa manusia, yang mau tak mau harus menerimanya dengan tegar dan penuh harapan. Baca sampai akhir cerita ini! Novel kece ini bisa didapatkan di website www.leutikaprio.com.


Sinopsis panjang "Anak-anak Kampus"



Castel, mahasiswa akhir dari jurusan anthropologi, tergerak hatinya ketika membaca artikel surat kabar yang memberitakan banyaknya buta huruf di lereng Gunung Merapi. Gara-gara berita itu, Castel memilih untuk sekalian melakukan penelitian perseorangan, sekaligus melakukan kegiatan sosial untuk mengajak jurusannya dan unit kemahasiswaan antropologi berperan serta. Tak lupa juga mengajak adik-adik angkatannya berperan serta. Dengan sobatnya Kusuma yang gemar main yoyo, Castel mencoba mewujudkan keinginannya itu, yakni menyelesaikan tugas akhirnya dan membantu pemberantasan huruf di lereng-lereng Merapi.

Castel hidup dengan Paman dan Bibinya yang sama-sama dipanggil Marko. Merekalah yang menjaga Castel saat menempuh pendidikan di Jogja. Saat melakukan penelitian perseorangan, Castel banyak berkenalan dengan penduduk asli, kebiasaan, tradisi lereng Merapi. Hal yang istimewa, Castel dapat mengetahui jika di jaman era digital ini masih ada seorang anak yang hidupnya seperti tarsan atau “anak lutung” panggilan orang lereng terhadap Wadi, nama aslinya. Castel pun tergerak untuk membantunya. Sebelumnya, saat Castel berburu target-target foto unik di Pasar Bringharjo, ia berkenalan dengan tukang Bendi dan Delman bernama Sodiman. Di bab berikutnya, Pak Sodiman ini ternyata memiliki hubungan dengan Wadi, anak lutung tersebut. Hal tersebut tak diduga oleh Castel. 

Di sisi lain, munculah kehadiran sosok model yang bernama Kikani. Mulanya, model ini pernah menekuni bidangnya di Ibukota, meski hanya menjadi model sehari di agensi Lawalata. Di Jogja, Kikani diterima di sebuah agensi model yang dipimpin oleh Bu Jenitri. Di agensi ini, dirinya berkenalan dengan Puspita dan Sadewa, fotografer agensi. Bu Jenitri ternyata memiliki kehidupan yang sungguh tragis, suaminya hilang saat mengalami kecelakaan kapal laut. Dengan Sadewa pun, Kikani semakin dekat dan mulai jatuh hati dengan tukang foto ini.

Seiring waktu, Castel bertemu dengan Kikani saat keduanya sedang menikmati suasana taman Kaliurang. Uniknya, meski telah mengobrol, tapi belum saling mengetahui nama masing-masing. Akhirnya, mereka dipertemukan lagi di sebuah cafeteria yang khusus menjual es krim dan coffe. Kali ini, mereka saling bertukar nama. Semenjak itu, Castel memang menaruh hati dengan Kikani dan terus bertemu dengan Kikani. Dia antara hubungan keduanya yang sedang penjajakan, juga muncul Tarissa yang juga menaruh hati dengan Castel. Beberapa perseteruan terjadi di antara ketiganya.

Karir model dari Kikani yang cukup lumayan pun harus terhenti ketika agensi Bu Jenitri pindah ke ibukota. Selain kekecewaan itu, Kikani harus menerima kenyataan bahwa Sadewa yang diharapkan bisa menjadi tambatan hatinya malah berhubungan dan bakal menjadi pasangan hidup Bu Jenitri. Setelah agensinya pindah, Kikani menjadi menganggur alias model bangkrut, kata Pamannya Kromo. Nasib baik berpihak kepada Kikani. Saat berjalan-jalan di Malioboro, Kikani tak disangka masuk ke sebuah butik milik Bibi Marko. Kikani pun ditawari untuk menjadi modelnya. Castel pun terkejut saat Kikani muncul di catwalk pada acara peragaan busana batik Bibinya. Castel diminta Bibi Marko untuk memotret desain-desain bajunya yang dipakai para model. Prestasi tertinggi, Kikani menyabet gelar “Prada Java” dari ajang bergengsi di ibukota. Kebaya berbahan batik yang desainnya dari Kikani sendiri, juga turut andil dengan gelarnya ini. 

Suatu kali, Kikani terasa menjauh dengan Castel. Atas saran Kusuma, Castel secara bergantian (dengan pemain yoyo ini), memata-matai keseharian Kikani hingga di depan rumahnya. Namun, setelah yakin tak ada laki-laki lain di hati Kikani, Castel memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya yang sudah lama terpendam. Suatu kali, keduanya berpiknik bersama di sebuah padang ilalang dan rumput luas di sekitar lereng Merapi. 

Apakah usaha Castel untuk menyatakan perasaan cintanya berhasil? Baca sampai akhir cerita ini! 

Saturday 14 October 2017

Novel Sejarah “Impala-impala Hindia” Diapresiasi PKBSBI,USD


Pusat Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia (PKBSBI) dan Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma (USD) sukses melaksanakan kegiatan dalam rangka kuliah umum bertajuk “Apresiasi Budaya terhadap Novel Impala-impala Hindia karya Imperial Jathee”, di ruang seminar auditorium Driyarkara, Kamis (12/10).

PKBSBI memang menjadi salah satu unit di USD dengan tugasnya mengembangkan penelitian bahasa, sastra, dan budaya Indonesia. Kegiatan apresiasi bahasa, sastra, dan budaya memang menjadi agenda rutin tahunannya untuk pengembangan dan penghargaan terhadap hasil budaya.

Dalam makalahnya, Dr Yoseph Yapi Taum meneliti novel Impala-impala Hindia dalam perspektif postkolonial Homi K BhaBha. Pembahasan dalam teori postkolonialnya mencakup: stereotipe, ambivalensi, mimikri, dan hibriditas. Untuk stereotipe, dalam masyarakat jajahan, ia menemukan kutub dikotomis seperti penjajah dan yang dijajah. Untuk ambivalensi, dalam masyarakat jajahan, tokoh Maon berdiri di dua kaki, satu sisi memperjuangkan hak asasi pribumi di sisi lain, bekerja untuk kepentingan Belanda. Untuk mimikri, dalam masyarakat jajahan, tokoh Prawiro Atmodjo pernah menirukan gaya bicara orang Belanda. Terakhir, untuk hibriditas, sebuah peniruan kebudayaan Belanda, tokoh Maon diceritakan memakai pakaian jas sebagai pakaian khas model Eropa.

Untuk makalah Septina Krismawati, SS, MA, ia menemukan adanya kebudayaan Jawa dalam novel Impala-impala Hindia. Dibuktikan penelitiannya di makalah dengan menyebut adanya filosofi Jawa seperti Cokro Manggilingan dan Gusti Kang Murbeng Dumadi. Selain itu, ditemukan bentuk-bentuk sapaan khas orang Jawa seperti pakde, paklik, mbok, le, dll. Yang paling dominan adalah banyaknya nama orang Jawa dalam novel yang ditelitinya.

Penulis novel Impala-impala Hindia yang hadir dalam apresiasi budaya itu pun menjelaskan alasan menulis novelnya karena ingin memiliki tokoh-tokoh monumental, misalnya seperti tokoh Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, tokoh Lantip dalam Para Priyayi karya Umar Kayam, tokoh Minke dalam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dan tokoh Teto dalam Burung-burung Manyar karya RomoMangun Wijaya. Keinginan itulah yang menjadi dasar untuk menulis novelnya setebal 818 halaman.

Sesi tanya jawab pun begitu meriah karena antusiasnya para mahasiswa Sastra Indonesia yang begitu tertarik dengan acara rutin PKBSBI USD ini. Di akhir acara, penghargaan dan door prize diberikan kepada peserta dan para pengisi acara Apresiasi Budaya dari PKBSBI ini.