Monday, 27 November 2017

Kedasih, Sosok Wanita Jawa Rekaan yang Istimewa

Tokoh Kedasih dalam novel “Njai Kedasih” memiliki karakter tersendiri, misal ia bisa melihat mata lelaki yang hanya melihat kemolekan tubuhnya dan tidak tulus hatinya sehingga tak mudah takluk dengan rayuan laki-laki yang tertarik pada dirinya. Ia memang pernah memiliki suami beberapa kali, tapi raib dipisahkan maut hingga terusir dari kampungnya karena dianggap membawa kutukan.
Kedasih juga memiliki latar pendidikan yang lumayan, meski hanya sampai tingkat HIS (setara dengan SMP) sehingga ia bisa membuat heran kepada orang-orang Eropa yang ingin merendahkannya. Ia bukan wanita pada umumnya.



Kedasih juga wanita mandiri, bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, meski hanya berjualan kain batik di Pasar Senen, Batavia. Kedasih hidup berdua dengan Mbok Min, orang yang dipercayai Ibunda Kedasih untuk menemaninya. Ibundanya memang tak tega melihat Kedasih pergi sendirian.

Kedasih juga tidak seperti yang diceritakan dalam buku-buku sejarah. Ia tak menjual harga dirinya, seperti Nyai Dasima yang selingkuh dengan Baba Samioen, karangan G. Francis. Selain itu, Kedasih meski sudah janda tak suka main serong dengan laki-laki lain atau melayani godaan Raden Sewoyo yang sering nakal, seperti sosok Nyai Saipa yang serong dengan jongosnya si Tjonat, karangan F.D.J. Pangemanann. Hatinya lebih memilih menunggu seorang laki-laki yang akan resmi menjadi suaminya kelak. Kedasih, nyai yang setia.

Harapan Kedasih untuk menemukan laki-laki yang tepat terwujud ketika dirinya bertemu di trem dengan Tuan Heidel, Insinyur Kereta Api yang bermata biru. Hubungan keduanya pun berlanjut hingga Kedasih sering mampir ke Stasiun Beos. Mereka berdua memutuskan ke arah yang lebih serius. Apakah mereka menikah, baca novel Njai Kedasih ya.

Ketika Jepang datang, suaminya membantu KNIL mempertahankan Pulau Jawa. Selama perang berlangsung, mereka hanya berhubungan melalui surat. Hingga sampai suatu waktu tak ada lagi surat datang dari Heidel. Apakah Suaminya ini akan kembali? Dengan begitu sedih, Kedasih berjanji untuk terus menunggunya.


Novel “Njai Kedasih” pun pernah diteliti dalam sebuah skripsi. Dalam skripsinya untuk meraih Sarjana Pendidikan dari Universitas Jember, Yunita Nur Fadilah menyebut kajian poskolonial dipakainya untuk telaah mendalam tentang perlawanan terjajah terhadap kolonialisme. Pada novel Njai Kedasih karya Imperial Jathee, ada bentuk praktik kolonialisme Belanda yang di dalamnya mengandung dominasi kepemimpinan (hegemoni) yang dilakukan tanpa paksaan, tapi sebenarnya menyebabkan ketidakadilan bagi pribumi. Ketidakadilan yang diterima pribumi misalnya sebutan Nyai bagi wanita pribumi identik sebagai gundik atau istri simpanan dari Tuan Belanda.


Namun, Nyai Kedasih walaupun mendapat sebutan Nyai tidak menjadi gundik dari Tuan Belanda, Heidel. Sebagai wanita pribumi, ia juga mempertahankan budaya dengan mengenakan kebaya dalam kesehariannya dan juga memiliki keberanian untuk melawan dominasi yang berhubungan dengan kehidupan sosial pribumi. Ketidakadilan yang diterima Nyai Kedasih membuatnya melakukan peniruan (mimikri) bahasa. Melalui mimikri bahasa, Nyai Kedasih dapat menunjukkan eksistensinya sebagai pribumi dan dapat mengacaukan identitas Belanda. Nyai Kedasih yang mendapat pandangan rendah dari Nyonya Ruth (wanita Belanda) berani untuk membantah dan juga melakukan perlawanan (resistensi) fisik. Novel “Njai Kedasih” ini bisa didapatkan di andipublisher.com.


No comments:

Post a Comment