Tokoh Kedasih dalam novel “Njai Kedasih” memiliki karakter
tersendiri, misal ia bisa melihat mata lelaki yang hanya melihat kemolekan
tubuhnya dan tidak tulus hatinya sehingga tak mudah takluk dengan rayuan laki-laki
yang tertarik pada dirinya. Ia memang pernah memiliki suami beberapa kali, tapi
raib dipisahkan maut hingga terusir dari kampungnya karena dianggap membawa
kutukan.
Kedasih juga memiliki latar pendidikan yang lumayan, meski
hanya sampai tingkat HIS (setara dengan SMP) sehingga ia bisa membuat heran
kepada orang-orang Eropa yang ingin merendahkannya. Ia bukan wanita pada
umumnya.
Kedasih juga wanita mandiri, bekerja keras untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sendiri, meski hanya berjualan kain batik di Pasar Senen,
Batavia. Kedasih hidup berdua dengan Mbok Min, orang yang dipercayai Ibunda
Kedasih untuk menemaninya. Ibundanya memang tak tega melihat Kedasih pergi
sendirian.
Kedasih juga tidak seperti yang diceritakan dalam buku-buku
sejarah. Ia tak menjual harga dirinya, seperti Nyai Dasima yang selingkuh
dengan Baba Samioen, karangan G. Francis. Selain itu, Kedasih meski sudah janda
tak suka main serong dengan laki-laki lain atau melayani godaan Raden Sewoyo
yang sering nakal, seperti sosok Nyai Saipa yang serong dengan jongosnya si
Tjonat, karangan F.D.J. Pangemanann. Hatinya lebih memilih menunggu seorang
laki-laki yang akan resmi menjadi suaminya kelak. Kedasih, nyai yang setia.
Harapan Kedasih untuk menemukan laki-laki yang tepat
terwujud ketika dirinya bertemu di trem dengan Tuan Heidel, Insinyur Kereta Api
yang bermata biru. Hubungan keduanya pun berlanjut hingga Kedasih sering mampir
ke Stasiun Beos. Mereka berdua memutuskan ke arah yang lebih serius. Apakah
mereka menikah, baca novel Njai Kedasih ya.
Ketika Jepang datang, suaminya membantu KNIL mempertahankan
Pulau Jawa. Selama perang berlangsung, mereka hanya berhubungan melalui surat.
Hingga sampai suatu waktu tak ada lagi surat datang dari Heidel. Apakah
Suaminya ini akan kembali? Dengan begitu sedih, Kedasih berjanji untuk terus
menunggunya.
Novel “Njai Kedasih” pun pernah diteliti dalam sebuah skripsi.
Dalam skripsinya untuk meraih Sarjana Pendidikan dari Universitas Jember,
Yunita Nur Fadilah menyebut kajian poskolonial dipakainya untuk telaah mendalam
tentang perlawanan terjajah terhadap kolonialisme. Pada novel Njai Kedasih
karya Imperial Jathee, ada bentuk praktik kolonialisme Belanda yang di dalamnya
mengandung dominasi kepemimpinan (hegemoni) yang dilakukan tanpa paksaan, tapi sebenarnya
menyebabkan ketidakadilan bagi pribumi. Ketidakadilan yang diterima pribumi
misalnya sebutan Nyai bagi wanita pribumi identik sebagai gundik atau istri
simpanan dari Tuan Belanda.
Namun, Nyai Kedasih walaupun mendapat sebutan Nyai tidak
menjadi gundik dari Tuan Belanda, Heidel. Sebagai wanita pribumi, ia juga
mempertahankan budaya dengan mengenakan kebaya dalam kesehariannya dan juga
memiliki keberanian untuk melawan dominasi yang berhubungan dengan kehidupan
sosial pribumi. Ketidakadilan yang diterima Nyai Kedasih membuatnya melakukan
peniruan (mimikri) bahasa. Melalui mimikri bahasa, Nyai Kedasih dapat
menunjukkan eksistensinya sebagai pribumi dan dapat mengacaukan identitas
Belanda. Nyai Kedasih yang mendapat pandangan rendah dari Nyonya Ruth (wanita
Belanda) berani untuk membantah dan juga melakukan perlawanan (resistensi)
fisik. Novel “Njai Kedasih” ini bisa didapatkan di andipublisher.com.
No comments:
Post a Comment