Soekarno
Revolusi yang dianut PNI bukanlah revolusi yang radikal, yaitu mengadakan pemberontakan atau melanggar hukum. Tetapi, menurut Soekarno adalah radikalisme semangat, radikalisme pikiran, radikalisme sepak-terjang, dan radikalisme dalam segala sikap lahir dan bathin. "Revolusioner dalam makna kami, sama sekali tidak berarti mau membikin pemberontakan. Kata revolusioner dalam makna kami adalah berarti “radikal” mau mengadakan perubahan secepatnya. Revolusi menurutnya akan dibuat oleh ‘machtsvorming’ akan dibentuk oleh kekuatan ‘Marhaen’, yaitu rakyat jelata," inilah yang disesuaikan leh bung Karno dalam penggunaan kaum Marhaen dalam konsepsinya melalui ajaran Marx. Hal itu tercetus karena pada waktu itu, zaman kita bukan zaman indrustri melainkan kolonialisasi Belanda. Hal inilah yang membedakan konsepsi Soekarno dalam memahami ajaran Marx dengan mengambil jiwa atau rohnya saja.
Soekarno hanya ingin memberi warna konsep nasionalismenya sebagai suatu konsep yang merangkum semua aliran yang mewarnai masyarakat Indonesia. Hal itu terjadi karena berkembangnya aliran-aliran pemikiran yang berhaluan marxisme, agama, dan nasionalisme maka cita-cita Soekarno adalah menyatukan ketiga aliran tersebut. Berikut cuplikan pendapatnya:
“Marxisme, Islamisme, dan Nasionalisme: Adapun teori Marxisme telah berubah pula. Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi yang bisa mengadakan aturan-aturan untuk segala zaman. Perubahan taktik dan perubahan teori itulah yang menjadi sebab, kaum Marxist yang 'muda', 'baik', 'sabar', ataupun yang 'keras', terutama di Asia, mau menyokong pergerakan nasional yang sungguh-sungguh. Itulah sebabnya, maka pergerakan marxisme di Indonesia ini harus pula menyokong pergerakan-pergerakan kita yang nasionalistis dan Islamistis yang mengambil otonomi itu sebagai maksudnya pula.” (Soekarno: Pemikiran politik dan Kenyataan Praktek, hlm 49-50).
Bagi Soekarno, Marxisme hanya merupakan salah satu unsur saja dari marhaenisme. Di sekitarnya dihimpun unsur-unsur lain, yaitu nasionalisme, kepercayaan pada Allah, dan perjuangan menuju persatuan total (Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan, Hlm 189). Pendapatnya ini memperlihtakan apa yang dicita-citakan Soekarno dalam menyatukan ketiga aliran itu. Soekarno berusaha mencari titik-titik yang bisa mempertemukannya. Kenyataan itu merupakan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat pada masa itu. Kelak ketiganya, akan diwadahi oleh Bung Karno dalam Nasakom yang akan menjadi tiang Demokrasi Terpimpin-nya. Bagi penulis ini, bukti-bukti itu membenarkan bahwa jiwa atau roh Marxisme tidak pernah lepas dari Soekarno dalam menentukan pikiran-pikirannya.
Demokrasi Terpimpin Soekarno pada tahun 1958 dengan ideologinya Manipol (Manifesto Politik) dibangkitkan lagi dengan semangat revolusi, keadilan sosial, dan retooling lembaga-lembaga dan organisasi demi revolusi yang berkesinambungan (Bicklef, 1998). Manifesto politik tersebut ditambahi dengan kata Usdek yang merupakan singkatan dari UUD 45, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia, kemudian disingkat menjadi "Manipol Usdek" yang direalisasikannya.
Demokrasi Terpimpin dengan Manipol Usdek-nya bisa memperlihtakan adanya unsur dari Marxisme, yaitu mengenai Sosialisme ala Indonesiannya. Dapat disimpulkan bahwa Soekarno adalah seorang Marxis, tetapi mengubahnya menjadi Marxis ala Indonesia. Hal ini berarti Soekarno tidak menerima secara utuh Marxisme, melainkan disesuaikannya dengan pribadi bangsa Indonesia. Lagi-lagi, Soekarno adalah Marxis aktif (menerima ajaran Marxist, tetapi juga mencari alternatif lain yang cocok untuk bangsa Indonesia).
No comments:
Post a Comment