Friday, 8 March 2013

Tiga Puisiku yang Tereleminasi...


Manusia Gerobak Berburu Sepatu Ket

Diminumya lagi segelas air putih itu dari sebuah botol bekas air mineral satu literan, yang memang disimpannya untuk menyimpan air matang, yang dimasaknya setiap malam setelah pulang memulung. Berarti sudah lima gelas sejak subuh tadi. Perutnya kembung. Minimal, ia tak mati dengan perut kosong, ucapnya meninabobokan kecemasannya.
Tak ada makan siang yang gratis, katanya menyemangati dirinya.
Di kantongnya yang kempes, baru ada lima ratus rupiah. Uang kembalian  saat membeli obat pusing tadi malam karena hujan lebat yang semalam mengguyur.
Semoga banyak kardus bekas dan plastik yang dipungut dari tempat-tempat sampah dan tersebar di pinggir-pinggir  jalan, doanya dalam hati. Jika dikilokan minimal dapat 30 ribu rupiah untuk makan malam yang sekaligus makan siang, serta beberapa batang rokok kretek, harapnya lagi.
Saat mengorek-ngorek  sampah, sebetulnya dia ingat kardus bekas kulkas yang tebal di atas ambin bambunya, tapi jika itu dijual juga, ia tak  punya alas tidur selain tikar yang satu-dua ada kutu busuknya. Punggungnya merasa tak tega jika harus digigiti
Ia urungkan niatnya, lalu berjalan lagi di sudut-sudut kota yang terdapat tong-tong sampah yang setiap hari didatanginya.
*
Di sebuah perumahan mewah, manusia gerobak ini berhenti karena seorang satpam bertubuh kekar memanggilnya. Boleh mulung asal ada kompensasinya, pajak yang sudah tidak asing lagi. Sebungkus rokok, pintanya. Pungutan liar ini masih bisa nego, katanya lagi.
Manusia gerobak ini berpikir jika diberikan dua batang rokok kretek miliknya, sisa tadi malam, apakah satpam ini mau. Apa salahnya bila tidak mencoba dulu.
Dikeluarkannya bungkusan plastik itu dari selipan peci yang sedang dipakainya.
Kalau sudah perokok, rokok merek apapun akhirnya diterima.
Pak Tua ini memang rela menyerahkannya karena hasil memulung yang didapat akan lebih banyak rupiahnya dari sekedar dua batang rokok kreteknya.
Di antara tumpukan sampah itu, manusia gerobak itu mendapat sepasang sepatu utuh yang hanya kotor kena cat. Sandalnya yang beda warna, kini segera dimasukannya ke gerobaknya, lalu berganti dengan sepatu ket bekas yang masih empuk dan nyaman. Telapak kakinya kini sedikit terlindungi dari panas aspal siang yang sering membuatnya meringis-meringis saat siang yang terik. Saat malam pun akan hangat bila dipakai jika terpaksa tidur di emper toko.
*
Saat ini hujan turun lebat, banjir pada longkang-longkang, menderas pada talang-talang seng. Gang sempit ini pun penuh luapan air keruh yang menyembul dari selokan mampat. Manusia gerobak ini berteduh di gardu ronda yang kosong, tak ada tikar lagi untuk sekedar rebahan. Diselamatkannya sepatu ket-nya, dibungkus dengan kantong plastik. Sangat rapat.
Rokok sebatang mengusir dingin. Nikmat!
Setelah agak rintik, seorang anak SD terlihat menangis sambil berjalan. Seragam dan tas basah kuyup. Manusia Gerobak tergerak  untuk berdiri, penasaran. Mencari tahu.
Ia teringat dengan anak dan istrinya di kampung, barangkali seumuran dengannya.
Sepatunya jatuh dan hanyut di sungai, katanya sesenggukan sambil menangis. Kulit kaki dan tangannya serasa memutih mati karena mengigil kedinginan, terendam genangan air hujan.
Nanti minta bapakmu untuk membelikan lagi, pesan dari manusia gerobak kini.
Bapakku juga sudah lama tidak pulang, sedang Ibunya hanya buruh cuci di kampungnya, jelas anak SD ini dengan terus menangis. Hati Manusia Gerobak kini sungguh tertohok. Sesak jika ikut merasakan derita anak ini. Matanya memerah ingin menangis. Tapi, ditahannya. Ia hanya mau menangis di rumah kardusnya saja, janjinya yang terus dipegangnya.
Setelah hujan reda, kini kulit dan telapak kakinya yang telanjang kembali merasakan kaku dan mati karena dingin permukaan  aspal jalan dan terperosok kubangan air. Bukan hal pertama yang baru dirasakan. Tak perlu peduli dan hati-hati  lagi seperti kemarin saat menuju ke pengepul sampah plastik dan kardus. Rintik hujan kembali turun, jatuh miring.
Hatinya berharap semoga esok  bisa menemukan sepasang sepatu ket lagi di perumahan mewah yang belum disambanginya. Langkah yang sepi kini, tak suara sepatu ket lagi.
Oktober Jogja, 2012

*
Seorang Pecinta

Dicintainya segelas kopi hitam itu meski pahit, berampas membentuk kumis hitam di mulutnya. Ia tidak kecewa, tapi malah meringis lepas. Ia memang seorang pecinta.
Dielusnya, lalu digendong seekor kucing kampung, bulukan, padahal sering bikin ribut di atap kontrakannnya. Padahal, tempo hari, kucing itu mencuri seplastik ikan asinnya. Ya, Ia memang pecinta.
Diciumnya sepasang kaki itu, meski berbulu lebat, suka menendang, menjejak keras saat tidur. Suatu kali, pernah pergi lama tak bilang-bilang hingga kepala pusing memikirkannya. Ia memang seorang pecinta.
Dilapnya sepeda motor tua itu dengan hati-hati walaupun pernah ngadat di tengah jalan saat hujan lebat, sesekali menghabiskan uang bulanan karena rusak parah, mondok lama di bengkel.  Ya, ini juga kriteria seorang pecinta.
Disimpannya jaket kumal lama itu dalam lemari. Jaket itu pemberian pacarnya, yang mengingatkan dia akan ciuman pertamanya, lalu tak bisa melupakan belaiannya meski telah lewat berpuluh-puluh tahun lamanya. Benar sekali, ia juga termasuk seorang pecinta.
Dihirupnya udara pagi ini dalam-dalam. Kedua lubang hidungnya tak rela  jika dingin pagi ini berlalu begitu saja, padahal tempo hari diingatkannya tentang gejala paru-paru basahnya yang mulai akut. Ya, dia memang seorang pecinta pagi.
Dipeluknya boneka beruang itu hingga kempes di dadanya. Adalah boneka beruang yang puluhan tahun menemani tidurnya, terkena ingusnya, iler, keringatnya. Dengan bau apek, tak bosan dan dibuangnya boneka ini. Dia memang seorang pecinta.
Direndamnya tubuhnya di sungai penuh sampah ini, berair keruh. Mulutnya tersenyum. Tangannya mengayuh seolah sedang berenang di kolam yang jernih. Ia tak ambil pusing karena masa kenangan masa kecilnya lebih kuat daripada bau apek, busuk, lembab itu. Orang ini pasti seorang pecinta juga.
Dibersihkannya anak itu dari lumpur yang mengotori tubuhnya, rambutnya, kedua tangannya, kedua kakinya. Setiap berak pun, dicebokinya anak itu dengan sedikit sabun yang berbusa di pantatnya. Kalau sakit, dibawanya anak ini ke puskesmas meski tak ada ongkos. Ya, Ibu ini memang seorang pecinta.
Didengarnya lagu-lagu itu hingga beratus kali. Entah itu di kamar, WC, kantor, dalam mobil. Siang-malam tak ada yang lain selain lagu-lagu dari kelompok musik kesayangannya itu. Pada sebuah malam, ia tak bisa tidur karena belum mendengar lagu-lagu itu karena listrik mati hingga pagi. Orang ini tentunya juga seorang pecinta.
September, Jogja 2012

*
Angin Pengiring di Terminal, Halte, dan Cafetaria.
Di kabin bus ini, kedua matanya menerobos kaca ke arah taman luar. Langit mendung, sebentar lagi akan hujan. Angin pengiring musim, menerbangkan daun-daun di latar taman terminal, lalu menyangkutkannya di bangku-bangku sepi penumpang. Beberapa pengemis terpekur, menunggui receh-receh rupiah yang akan jatuh di lubang kalengnya. Ini memang bukan masa mudik lebaran, terminal sepi.
Mendadak telinganya tuli, yang terdengar hanya panggil suara kekasihnya, yang sesekali mengucapkan sayang dan rindu pada mimpinya. Diremasnya sebuah daun kering yang mampir, menyelinap di jendela busnya yang terbuka. Dibisikannya nama kekasihnya, kemudian dilarung saat angin pengiring musim berhembus lagi. Kini, masa lalu begitu datang dengan nyata. Membuktikan keksihnya itu memang benar-benar pernah ada di hatinya.
*
Kakinya kini menginjak di kota yang tak terbilang kecil ini. Angin pengiring lagi-lagi mengibarkan rambutnya. Dirapatkanya jaket karena udara petang terasa begitu gigil dan dingin. Jalanannya memang tak pernah sepi. Sambil menunggu, duduklah pada bangku halte yang lenggang calon penumpang. Maklum, hujan deras baru saja reda. Beberapa genang air yang tenang memantulkan kisah-kisah lama  dengan kekasihnya. Terakhir muncul wajah kekasihnya.  Dilemparkannya sebuah batu kerikil ke arah genangan dan wajah kekasihnya tetap ada, meski air bergelombang tak tenang. Kenangan itu memang bisa lebih kuat daripada batu prasasti, batinnya.
Dilambaikannya tangannya ke sebuah taksi kota yang akan melintas dan berhenti. Ban depannya kini melindas genangan air yang memantulkan wajah kekasihnya. Ia tak ambil pusing, segera membuka pintu.
Di luar, angin pengiring mengoyak beberapa pohon hingga beberapa ranting dan dahannya, patah dan rontok. Teronggok di pinggir jalan dan sebuah di tengah jalan. Wajah kekasihnya kini muncul lagi di sebuah baleho rubuh yang mengiklankan minyak rambut ternama. Hatinya tak habis pikir. Angin pengiring kini masuk melalui lubang penyaring udara AC taksinya.
*
Di sebuah cafetaria, secangkir kopi hitam, mengepul, mengasapi kedua lubang hidungnya. Sebuah alunan biola dan piano terdengar menguar di antara kedua telinganya, bersemayam di kolong mejanya, menyandera beberapa pengunjung yang datang dengan sekotak kenangan seperti dirinya. Dicoba usirnya ingatan itu dengan sepotong roti, beberapa batang rokok.
Hujan kini turun lagi, meneduhkan kembali dingin dan gigil di ujung-ujung jari kaki dan punggung. Wajah kekasihnya kini justru muncul lagi di hempasan asap rokoknya, lalu mengajak dansa dengan sesekali mencium merah basah bibirnya. Manisnya.
Kini, kekasihnya juga menari, sedikit berdansa, lalu berputar-putar di ruang isi kepalanya.
Kenikmatan ini tiba-tiba terhenti ketika sebuah klakson sebuah taksi muncul dengan keras di depan cafetaria. Rupanya sudah dua jam lebih ia di cafetaria ini.
Dengan tergesa, ia segera menyambar kopornya dan melanjutkan perjalanan.

November, Jogja 2012

No comments:

Post a Comment