Manusia
Gerobak Berburu Sepatu Ket
Diminumya lagi segelas
air putih itu dari sebuah botol bekas air mineral satu literan, yang memang
disimpannya untuk menyimpan air matang, yang dimasaknya setiap malam setelah
pulang memulung. Berarti sudah lima gelas sejak subuh tadi. Perutnya kembung.
Minimal, ia tak mati dengan perut kosong, ucapnya meninabobokan kecemasannya.
Tak ada makan siang
yang gratis, katanya menyemangati dirinya.
Di kantongnya yang
kempes, baru ada lima ratus rupiah. Uang kembalian saat membeli obat pusing tadi malam karena
hujan lebat yang semalam mengguyur.
Semoga banyak kardus
bekas dan plastik yang dipungut dari tempat-tempat sampah dan tersebar di
pinggir-pinggir jalan, doanya dalam hati.
Jika dikilokan minimal dapat 30 ribu rupiah untuk makan malam yang sekaligus
makan siang, serta beberapa batang rokok kretek, harapnya lagi.
Saat
mengorek-ngorek sampah, sebetulnya dia
ingat kardus bekas kulkas yang tebal di atas ambin bambunya, tapi jika itu
dijual juga, ia tak punya alas tidur
selain tikar yang satu-dua ada kutu busuknya. Punggungnya merasa tak tega jika
harus digigiti
Ia urungkan niatnya,
lalu berjalan lagi di sudut-sudut kota yang terdapat tong-tong sampah yang
setiap hari didatanginya.
*
Di
sebuah perumahan mewah, manusia gerobak ini berhenti karena seorang satpam
bertubuh kekar memanggilnya. Boleh mulung asal ada kompensasinya, pajak yang
sudah tidak asing lagi. Sebungkus rokok, pintanya. Pungutan liar ini masih bisa
nego, katanya lagi.
Manusia
gerobak ini berpikir jika diberikan dua batang rokok kretek miliknya, sisa tadi
malam, apakah satpam ini mau. Apa salahnya bila tidak mencoba dulu.
Dikeluarkannya
bungkusan plastik itu dari selipan peci yang sedang dipakainya.
Kalau
sudah perokok, rokok merek apapun akhirnya diterima.
Pak
Tua ini memang rela menyerahkannya karena hasil memulung yang didapat akan
lebih banyak rupiahnya dari sekedar dua batang rokok kreteknya.
Di
antara tumpukan sampah itu, manusia gerobak itu mendapat sepasang sepatu utuh
yang hanya kotor kena cat. Sandalnya yang beda warna, kini segera dimasukannya
ke gerobaknya, lalu berganti dengan sepatu ket bekas yang masih empuk dan
nyaman. Telapak kakinya kini sedikit terlindungi dari panas aspal siang yang
sering membuatnya meringis-meringis saat siang yang terik. Saat malam pun akan
hangat bila dipakai jika terpaksa tidur di emper toko.
*
Saat
ini hujan turun lebat, banjir pada longkang-longkang, menderas pada
talang-talang seng. Gang sempit ini pun penuh luapan air keruh yang menyembul
dari selokan mampat. Manusia gerobak ini berteduh di gardu ronda yang kosong,
tak ada tikar lagi untuk sekedar rebahan. Diselamatkannya sepatu ket-nya,
dibungkus dengan kantong plastik. Sangat rapat.
Rokok
sebatang mengusir dingin. Nikmat!
Setelah
agak rintik, seorang anak SD terlihat menangis sambil berjalan. Seragam dan tas
basah kuyup. Manusia Gerobak tergerak
untuk berdiri, penasaran. Mencari tahu.
Ia
teringat dengan anak dan istrinya di kampung, barangkali seumuran dengannya.
Sepatunya
jatuh dan hanyut di sungai, katanya sesenggukan sambil menangis. Kulit kaki dan
tangannya serasa memutih mati karena mengigil kedinginan, terendam genangan air
hujan.
Nanti
minta bapakmu untuk membelikan lagi, pesan dari manusia gerobak kini.
Bapakku
juga sudah lama tidak pulang, sedang Ibunya hanya buruh cuci di kampungnya,
jelas anak SD ini dengan terus menangis. Hati Manusia Gerobak kini sungguh
tertohok. Sesak jika ikut merasakan derita anak ini. Matanya memerah ingin
menangis. Tapi, ditahannya. Ia hanya mau menangis di rumah kardusnya saja,
janjinya yang terus dipegangnya.
Setelah
hujan reda, kini kulit dan telapak kakinya yang telanjang kembali merasakan
kaku dan mati karena dingin permukaan aspal jalan dan terperosok kubangan air. Bukan
hal pertama yang baru dirasakan. Tak perlu peduli dan hati-hati lagi seperti kemarin saat menuju ke pengepul
sampah plastik dan kardus. Rintik hujan kembali turun, jatuh miring.
Hatinya
berharap semoga esok bisa menemukan
sepasang sepatu ket lagi di perumahan mewah yang belum disambanginya. Langkah yang
sepi kini, tak suara sepatu ket lagi.
Oktober
Jogja, 2012
*
Seorang Pecinta
Dicintainya
segelas kopi hitam itu meski pahit, berampas membentuk kumis hitam di mulutnya.
Ia tidak kecewa, tapi malah meringis lepas. Ia memang seorang pecinta.
Dielusnya,
lalu digendong seekor kucing kampung, bulukan, padahal sering bikin ribut di
atap kontrakannnya. Padahal, tempo hari, kucing itu mencuri seplastik ikan
asinnya. Ya, Ia memang pecinta.
Diciumnya
sepasang kaki itu, meski berbulu lebat, suka menendang, menjejak keras saat
tidur. Suatu kali, pernah pergi lama tak bilang-bilang hingga kepala pusing
memikirkannya. Ia memang seorang pecinta.
Dilapnya
sepeda motor tua itu dengan hati-hati walaupun pernah ngadat di tengah jalan
saat hujan lebat, sesekali menghabiskan uang bulanan karena rusak parah, mondok
lama di bengkel. Ya, ini juga kriteria
seorang pecinta.
Disimpannya
jaket kumal lama itu dalam lemari. Jaket itu pemberian pacarnya, yang
mengingatkan dia akan ciuman pertamanya, lalu tak bisa melupakan belaiannya
meski telah lewat berpuluh-puluh tahun lamanya. Benar sekali, ia juga termasuk
seorang pecinta.
Dihirupnya
udara pagi ini dalam-dalam. Kedua lubang hidungnya tak rela jika dingin pagi ini berlalu begitu saja,
padahal tempo hari diingatkannya tentang gejala paru-paru basahnya yang mulai
akut. Ya, dia memang seorang pecinta pagi.
Dipeluknya
boneka beruang itu hingga kempes di dadanya. Adalah boneka beruang yang puluhan
tahun menemani tidurnya, terkena ingusnya, iler, keringatnya. Dengan bau apek,
tak bosan dan dibuangnya boneka ini. Dia memang seorang pecinta.
Direndamnya
tubuhnya di sungai penuh sampah ini, berair keruh. Mulutnya tersenyum.
Tangannya mengayuh seolah sedang berenang di kolam yang jernih. Ia tak ambil
pusing karena masa kenangan masa kecilnya lebih kuat daripada bau apek, busuk,
lembab itu. Orang ini pasti seorang pecinta juga.
Dibersihkannya
anak itu dari lumpur yang mengotori tubuhnya, rambutnya, kedua tangannya, kedua
kakinya. Setiap berak pun, dicebokinya anak itu dengan sedikit sabun yang
berbusa di pantatnya. Kalau sakit, dibawanya anak ini ke puskesmas meski tak
ada ongkos. Ya, Ibu ini memang seorang pecinta.
Didengarnya
lagu-lagu itu hingga beratus kali. Entah itu di kamar, WC, kantor, dalam mobil.
Siang-malam tak ada yang lain selain lagu-lagu dari kelompok musik
kesayangannya itu. Pada sebuah malam, ia tak bisa tidur karena belum mendengar
lagu-lagu itu karena listrik mati hingga pagi. Orang ini tentunya juga seorang
pecinta.
September, Jogja 2012
*
Angin
Pengiring di Terminal, Halte, dan Cafetaria.
Di kabin bus ini, kedua
matanya menerobos kaca ke arah taman luar. Langit mendung, sebentar lagi akan
hujan. Angin pengiring musim, menerbangkan daun-daun di latar taman terminal,
lalu menyangkutkannya di bangku-bangku sepi penumpang. Beberapa pengemis
terpekur, menunggui receh-receh rupiah yang akan jatuh di lubang kalengnya. Ini
memang bukan masa mudik lebaran, terminal sepi.
Mendadak telinganya
tuli, yang terdengar hanya panggil suara kekasihnya, yang sesekali mengucapkan
sayang dan rindu pada mimpinya. Diremasnya sebuah daun kering yang mampir,
menyelinap di jendela busnya yang terbuka. Dibisikannya nama kekasihnya,
kemudian dilarung saat angin pengiring musim berhembus lagi. Kini, masa lalu begitu
datang dengan nyata. Membuktikan keksihnya itu memang benar-benar pernah ada di
hatinya.
*
Kakinya
kini menginjak di kota yang tak terbilang kecil ini. Angin pengiring lagi-lagi
mengibarkan rambutnya. Dirapatkanya jaket karena udara petang terasa begitu
gigil dan dingin. Jalanannya memang tak pernah sepi. Sambil menunggu, duduklah
pada bangku halte yang lenggang calon penumpang. Maklum, hujan deras baru saja
reda. Beberapa genang air yang tenang memantulkan kisah-kisah lama dengan kekasihnya. Terakhir muncul wajah
kekasihnya. Dilemparkannya sebuah batu
kerikil ke arah genangan dan wajah kekasihnya tetap ada, meski air bergelombang
tak tenang. Kenangan itu memang bisa lebih kuat daripada batu prasasti,
batinnya.
Dilambaikannya
tangannya ke sebuah taksi kota yang akan melintas dan berhenti. Ban depannya
kini melindas genangan air yang memantulkan wajah kekasihnya. Ia tak ambil
pusing, segera membuka pintu.
Di
luar, angin pengiring mengoyak beberapa pohon hingga beberapa ranting dan
dahannya, patah dan rontok. Teronggok di pinggir jalan dan sebuah di tengah
jalan. Wajah kekasihnya kini muncul lagi di sebuah baleho rubuh yang
mengiklankan minyak rambut ternama. Hatinya tak habis pikir. Angin pengiring
kini masuk melalui lubang penyaring udara AC taksinya.
*
Di
sebuah cafetaria, secangkir kopi hitam, mengepul, mengasapi kedua lubang
hidungnya. Sebuah alunan biola dan piano terdengar menguar di antara kedua
telinganya, bersemayam di kolong mejanya, menyandera beberapa pengunjung yang
datang dengan sekotak kenangan seperti dirinya. Dicoba usirnya ingatan itu
dengan sepotong roti, beberapa batang rokok.
Hujan
kini turun lagi, meneduhkan kembali dingin dan gigil di ujung-ujung jari kaki
dan punggung. Wajah kekasihnya kini justru muncul lagi di hempasan asap rokoknya,
lalu mengajak dansa dengan sesekali mencium merah basah bibirnya. Manisnya.
Kini,
kekasihnya juga menari, sedikit berdansa, lalu berputar-putar di ruang isi
kepalanya.
Kenikmatan
ini tiba-tiba terhenti ketika sebuah klakson sebuah taksi muncul dengan keras
di depan cafetaria. Rupanya sudah dua jam lebih ia di cafetaria ini.
Dengan
tergesa, ia segera menyambar kopornya dan melanjutkan perjalanan.
November,
Jogja 2012
No comments:
Post a Comment