Menafsirkan itu bebas. Beberapa orang memiliki sudut pandang yang berbeda. Sejumlah orang menafsirkan bahwa buah duren itu enak dimakan, aromanya harum. Namun, beberapa orang muntah-muntah saat mencicipinya, bahkan pusing tujuh keliling ketika mencium baunya. Inilah kebebasan menafsir itu. Tak hanya tentang menafsirkan tentang buah-buahan, tapi menafsirkan pribadi seseorang pun bisa sangat berbeda. Latar belakang orang itu juga mempengaruhi saat menilai pribadi seseorang, misal seorang seniman seni rupa tentu memiliki penilaian berbeda tentang objek gambar tato di punggung daripada seorang agamawan yang konservatif. Latar belakang tentu berkaitan dengan kondisi sosiologi seseorang, misal tingkat pendidikan, buku bacaannya, teman ngobrolnya, lingkungan, dll.
Setelah latar belakang, tentunya kepentingan dari orang yang menafsirkan itu. Kepentingan ini sangat mempengaruhi penafsiran. Jika melihat pilpres kemarin, tentunya beberapa kelompok menafsirkan capresnya sesuai kepentingannya agar memperoleh suara sebanyak-banyaknya. Banyak lagi contoh kepentingan di sekitar kita, misal kepentingan partai, kepentingan perusahaan, kepentingan keluarga, dll.
Yang terakhir adalah menafsirkan secara semau-maunya. Inilah yang mungkin banyak orang disebut omong kosong alias berbicara seenaknya sendiri. Setiap orang mampu menafsirkan seperti itu karena mereka punya mulut. Namun, biasanya penafsiran secara semau-maunya seringkali malah jujur karena tanpa motivasi apa-apa. Anak kecil bisa dijadikan contoh karena mereka akan berkata jelek jika memang jelek.
Nah, mulai sekarang, kita akan menafsirkan berdasarkan apa? Silakan pilih! Heuheuheu!
No comments:
Post a Comment