Bogor, 6
Oktober 1965. Hampir sepekan setelah peristiwa penculikan enam jenderal Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat menggegerkan Jakarta. Presiden Soekarno
memanggil semua menteri Kabinet Dwikora dan menggelar rapat mendadak di Istana
Bogor. Sekitar empat puluh menteri hadir ketika itu. Hampir semuanya berpakaian
putih-putih, jenis seragam para pembantu Presiden kala itu. Pengamanan mereka amat
ketat, sebagian datang dengan dikawal panser tentara. Menteri Panglima Angkatan
Udara Laksamana Madya Udara Omar Dhani yang belakangan dipenjara karena dituduh
terlibat Gerakan 30 September tampak hadir. Ada pun Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan Jenderal Abdul Haris
Nasution tak ada. Dia salah satu target operasi Cakrabirawa yang lolos sepekan
sebelumnya. Ketua Comite Central Partai
Komunis Indonesia Dipa Nusantara Aidit juga tidak kelihatan di antara peserta
rapat. Sedangkan, Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto justru muncul.
Suasana tegang. Setiap orang tampak was-was dan curiga satu sama lain.
Soekarno lalu
membuka sidang. Pada kesempatan pertama, dia meminta Menteri Negara dan Wakil
Ketua II Comite Central PKI Njoto bicara. "Saudara Njoto, kamu punya
statement untuk disampaikan? Silakan," kata Soekarno, seperti dikutip Menteri Transmigrasi
Mochamad Achadi kepada Tempo pada 2003. Njoto adalah salah satu peserta rapat. Njoto
mengeluarkan secarik kertas berisi tulisan tangan dan mulai bicara. "PKI
tidak bertanggung jawab atas peristiwa G30S," katanya tegas.
"Kejadian
itu adalah masalah internal Angkatan Darat." Pernyataannya singkat saja. Soekarno
lalu bicara. Sang Bung Besar menegaskan bahwa peristiwa 30 September itu adalah
hal biasa dalam perjalanan sejarah bangsa. "Selalu ada peruncingan-peruncingan kekuatan. Kalau Darul Islam merupakan peruncingan kanan,
PRRI/Permesta peruncingan nasionalis, maka ini peruncingan kiri," kata
Soekarno. Presiden juga menyebut bahwa peristiwa G30S hanyalah tonggak kecil dalam
perjalanan revolusi Indonesia. "Een rimpeltje in de oceaan," katanya. Hanya sebuah riak di
tengah samudera.
PAGI sebelum rapat, M.H. Lukman, Menteri Negara dan Wakil Ketua I Comite Central PKI, menjemput Njoto di rumahnya, Jalan Malang 22, Menteng, Jakarta Pusat. Njoto bergegas menyongsong kameradnya, yang baru keluar dari mobil dinas menteri bermerek Dodge Dart, dan langsung bertanya, "Apa sebetulnya yang terjadi?" Lukman menggeleng, "Saya juga tak tahu." Pada saat insiden penculikan dan pembunuhan para jenderal terjadi enam hari sebelumnya, Njoto sedang berada di Medan, Sumatera Utara, ikut kunjungan kerja Wakil Perdana Menteri I Soebandrio. Hal pertama yang dia lakukan setibanya kembali ke Ibu Kota adalah mengungsikan keluarganya keluar dari rumah dinas di Menteng. Gerakan 30 September memang direncanakan tanpa sepengetahuan Njoto. John Roosa, sejarawan University of British Columbia, Kanada, dalam bukunya, Dalih Pembunuhan Massal, menulis bagaimana Pemimpin Redaksi Harian Rakjat itu sudah lama dijauhkan dari pengambilan keputusan penting di dalam Politbiro PKI. Dia mengutip catatan yang dibuat panitera Politbiro PKI, Iskandar Subekti. "Dalam semua diskusi, kawan Njoto dengan sadar tidak diikutsertakan oleh kawan Aidit, dengan pertimbangan ideologis," ia mencatat.
Aidit, menurut Subekti, menganggap Njoto lebih Soekarnois ketimbang komunis. Catatan lain menyebutkan bahwa Njoto saat itu lebih condong pada poros komunis Uni Soviet, bertentangan dengan Aidit yang merapat pada poros Peking.
PAGI sebelum rapat, M.H. Lukman, Menteri Negara dan Wakil Ketua I Comite Central PKI, menjemput Njoto di rumahnya, Jalan Malang 22, Menteng, Jakarta Pusat. Njoto bergegas menyongsong kameradnya, yang baru keluar dari mobil dinas menteri bermerek Dodge Dart, dan langsung bertanya, "Apa sebetulnya yang terjadi?" Lukman menggeleng, "Saya juga tak tahu." Pada saat insiden penculikan dan pembunuhan para jenderal terjadi enam hari sebelumnya, Njoto sedang berada di Medan, Sumatera Utara, ikut kunjungan kerja Wakil Perdana Menteri I Soebandrio. Hal pertama yang dia lakukan setibanya kembali ke Ibu Kota adalah mengungsikan keluarganya keluar dari rumah dinas di Menteng. Gerakan 30 September memang direncanakan tanpa sepengetahuan Njoto. John Roosa, sejarawan University of British Columbia, Kanada, dalam bukunya, Dalih Pembunuhan Massal, menulis bagaimana Pemimpin Redaksi Harian Rakjat itu sudah lama dijauhkan dari pengambilan keputusan penting di dalam Politbiro PKI. Dia mengutip catatan yang dibuat panitera Politbiro PKI, Iskandar Subekti. "Dalam semua diskusi, kawan Njoto dengan sadar tidak diikutsertakan oleh kawan Aidit, dengan pertimbangan ideologis," ia mencatat.
Aidit, menurut Subekti, menganggap Njoto lebih Soekarnois ketimbang komunis. Catatan lain menyebutkan bahwa Njoto saat itu lebih condong pada poros komunis Uni Soviet, bertentangan dengan Aidit yang merapat pada poros Peking.
Dalam sebuah wawancara dengan
koran Jepang, Asahi Shimbun, pada 2 Desember 1965, Njoto mempertanyakan dasar
logika Gerakan 30 September. "Apakah premis Letkol Untung tentang adanya
Dewan Jenderal membenarkan adanya suatu coup d'etat?" katanya. Tidak hanya
Njoto, umumnya anggota Comite Central PKI juga tidak tahu Gerakan 30 September.
Dalam pleidoinya di Mahkamah Militer Luar Biasa yang dibacakan pada 1972,
Iskandar Subekti menjelaskan bahwa rapat Politbiro PKI pada Agustus 1965 hanya
memutuskan akan memberikan "dukungan politis" kepada sebuah aksi
militer yang dirancang "sejumlah perwira progresif". Pada akhir
Agustus, keputusan Politbiro itu disampaikan kepada Comite Central PKI. Aidit
memimpin sendiri rapat itu. "Tidak ada diskusi," kata Subekti. Dalam
pleidoinya, Subekti menjelaskan partai tidak pernah memberikan dukungan fisik
atas Gerakan 30 September. Partai hanya akan membela perjuangan itu melalui
pemberitaan pers dan sidang sidang pemerintah.
"Itu sikap politik yang
wajar dan biasa, berhubungan dengan perkembangan situasi dan garis politik PKI
saat itu," tulisnya. Garis politik itulah yang diikuti Harian Rakjat,
edisi Sabtu, 2 Oktober 1965. Koran yang dipimpin Njoto itu terbit sehari
setelah Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Mayor Jenderal Umar
Wirahadikusumah melarang semua media terbit, kecuali harian Angkatan Bersenjata
dan Berita Yudha-dua koran yang berafiliasi dengan TNI AD. Judul kepala berita
Harian Rakjat dicetak besar besar, "Letkol Untung, Komandan Bataljon
Tjakrabirawa, Menjelamatkan Presiden dan RI dari Kup Dewan Djendral". Di
bawahnya, ada subjudul: "Gerakan 30 September Semata mata Gerakan dalam
AD". Meski mendukung, Tajuk Rencana Harian Rakjat hari itu justru
mengambil jarak dengan Gerakan 30 September. "Kita rakyat memahami betul
apa yang dikemukakan oleh Letkol Untung dalam melakukan gerakannya yang
patriotik itu," tulis editorial harian itu. "Tapi bagaimanapun juga
persoalan tersebut adalah persoalan intern AD."
Meski terkesan hati-hati,
pernyataan itu terasa menantang karena dirilis pada saat tentara sudah melarang
penerbitan semua media. Apalagi, saat itu pasukan TNI AD sudah mengepung Halim
Perdanakusuma dan melumpuhkan pasukan pendukung Gerakan 30 September yang tersisa. Njoto dan redaksi Harian Rakjat
tampaknya tidak paham dan tidak menduga akan ada perkembangan politik yang amat
drastis pada hari hari pertama setelah Gerakan 30 September. Ada satu hal lagi
yang menguatkan dugaan Njoto tidak terlibat Gerakan 30 September. Dalam sebuah
diskusi di Tempo, akhir Agustus lalu, kawan dekat Njoto, bekas Pemimpin Redaksi
Harian Merdeka Joesoef Isak, membeberkan
fakta bahwa Njoto sejak 1964 sudah diberhentikan dari semua jabatan fungsional
di partainya. "Dia diam saja, semua dia pikul, seakan akan dia ikut
(Gerakan 30 September)," kata Joesoef.
***
Sebuah rapat Kabinet Dwikora diadakan di Istana
Bogor, 6 Oktober 1965. Seusai sidang, semua menteri bergegas pulang. Jurnalis
Harian Rakjat, Amarzan Ismail Hamid, yang hadir saat itu, mengaku melihat
Presiden Soekarno berbincang sebentar dengan Njoto, sebelum masuk ke Istana.
"Itulah terakhir kali saya melihat Bung Njoto," katanya pekan lalu. Di
halaman Istana, seorang Menteri Negara, Kolonel Polisi Boegi Sumpeno, sempat mengajak
Njoto pulang bersama ke Jakarta, dikawal panser. "Ikut rombongan saya
saja," kata Boegi menawarkan. Njoto tersenyum dan menolak.
"Itu sikap politik yang
wajar dan biasa, berhubungan dengan perkembangan situasi dan garis politik PKI
saat itu," tulisnya. Garis politik itulah yang diikuti Harian Rakjat,
edisi Sabtu, 2 Oktober 1965. Koran yang dipimpin Njoto itu terbit sehari
setelah Panglima Komando Daerah Militer Jakarta, Mayor Jenderal Umar
Wirahadikusumah melarang semua media terbit, kecuali harian Angkatan Bersenjata
dan Berita Yudha - dua koran yang berafiliasi dengan TNI AD. Judul kepala berita
Harian Rakjat dicetak besar besar, "Letkol Untung, Komandan Bataljon
Tjakrabirawa, Menjelamatkan Presiden dan RI dari Kup Dewan Djendral". Di
bawahnya, ada subjudul: "Gerakan 30 September Semata-mata Gerakan dalam
AD". Meski mendukung, Tajuk Rencana Harian Rakjat hari itu justru
mengambil jarak dengan Gerakan 30 September. "Kita rakyat memahami betul
apa yang dikemukakan oleh Letkol Untung dalam melakukan gerakannya yang
patriotik itu," tulis editorial harian itu. "Tapi bagaimanapun
juga persoalan tersebut adalah persoalan intern AD." Meski terkesan hati-hati, pernyataan itu terasa menantang karena dirilis pada saat tentara sudah
melarang penerbitan semua media. Apalagi, saat itu pasukan TNI AD sudah mengepung
Halim Perdanakusuma dan melumpuhkan pasukan pendukung Gerakan 30 September yang tersisa. Njoto dan redaksi Harian Rakjat
tampaknya tidak paham dan tidak menduga akan ada perkembangan politik yang amat
drastis pada hari-hari pertama setelah Gerakan 30 September. Ada satu hal lagi
yang menguatkan dugaan Njoto tidak terlibat Gerakan 30 September. Dalam sebuah
diskusi di Tempo, akhir Agustus lalu, kawan dekat Njoto, bekas Pemimpin Redaksi
Harian Merdeka, Joesoef Isak, membeberkan
fakta bahwa Njoto sejak 1964 sudah diberhentikan dari semua jabatan fungsional
di partainya. "Dia diam saja, semua dia pikul, seakan akan dia ikut
(Gerakan 30 September)," kata Joesoef. (Sumber: Tempo)
No comments:
Post a Comment