Njoto dikenal sebagai politikus
yang memiliki minat besar terhadap kesenian, sastra, dan musik. "Dalam hal
seni dan budaya, Njoto sangat kental. Setiap terbit buku baru, dia pasti
mencarinya. Dan, dia tidak pernah tidak membaca majalah kebudayaan yang baru
terbit," kata Trikoyo, alumnus sekolah perwira angkatan darat Jepang yang turut
membantu Njoto dan Dipa Nusantara Aidit menerbitkan Harian Rakjat dan Bintang
Merah.
Trikoyo adalah putra Kiai Anom
Dardiri Suromidjoyo, pemimpin Pondok Pesantren Naqsabandiyah di Kutoarjo, Jawa
Tengah, yang dibuang pemerintah kolonial Belanda ke Boven Digul, Papua, pada 1926.
Trikoyo, kini berusia 84 tahun, pernah 10 tahun mendekam di kamp tahanan Pulau
Buru di masa Orde Baru.
Penulis cerita pendek ini sering
mengobrol dengan Njoto, meski ia sudah tak ingat apa saja yang dibicarakannya.
Ia cuma tak bisa melupakan minat sastra Njoto yang terbentang luas: dari buku
karya pengarang Rusia seperti Nikolai Gogol dan Dostoevsky, hingga penulis yang
ideologinya berseberangan. "Dia juga suka karya H.B. Jassin. Dia juga
tidak meremehkan dan selalu memuji tulisan Hamka," katanya.
Njoto banyak membaca, rajin menulis.
Kalau mendapat ide, kata Trikoyo, ia biasanya langsung menuangkannya lewat
mesin ketik, dengan "jurus 11 jari" alias hanya dengan telunjuk kiri dan kanan. Bila dalam perjalanan menulis
itu muncul ide lain, dia akan mencabut
kertas itu dan menggantinya dengan yang baru. "Tulisan sebelumnya tidak
dia buang, tapi nanti dia lanjutkan," katanya.
Njoto suka menggunakan nama pena
Iramani dalam tulisannya. Iramani adalah adik bungsu Njoto. Sejumlah puisi
karya Njoto muncul dengan nama Iramani di Harian Rakjat, media resmi Partai Komunis Indonesia yang berkantor
di Pintu Besar 93, Jakarta. Koran itu dipimpin Mula Naibaho, Njoto, dan Supeno.
Itulah koran politik terbesar dengan oplah mencapai 23 ribu eksemplar pada
1950-1965.
September tahun lalu, sembilan puisi Njoto yang pernah
muncul di harian itu diterbitkan kembali dalam sebuah buku. Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra, Harian
Rakyat 1950-1965, buku puisi yang disusun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin
M. Dahlan itu, berisi puisi Njoto berjudul "Tahun Baru",
"Catatan Peking", "Jangtoe", "Shanghai",
"Merah Kesumba", "Variasi Haiku", "Variasi Cak",
dan "Pertemuan di Paris". Lima dari puisi itu mengangkat soal Cina
dan
ditulis dari negeri itu. Puisi "Jangtoe" di bawah
ini, misalnya, ditulis di Cungking-Wunan pada 14 Oktober 1959:
Jangse mengalir
Kepalku menghilir
Dari Cangking ke Wuhan
Kujelajahi haridepan
Kujelajahi haridepan
Itulah jenis puisi yang, menurut Amarzan
Ismail Hamid, redaktur Harian Rakjat Minggu saat itu, lahir dari kekaguman.
Kala itu orang Indonesia sulit sekali pergi ke luar negeri, tapi orang-orang
PKI agak gampang karena sering diundang pemerintah Cina atau Rusia. Harian
Rakjat Minggu diasuh oleh Amarzan, Njoto, Banda Harahap, Basuki Resobowo, Zubir
A.A., dan Bambang Sukawati Dewantara. Nama yang terakhir adalah putra bungsu Ki
Hajar Dewantara. 42
Meski Njoto adalah pemimpin redaksi harian itu, dia tampaknya
sangat sibuk mengurusi politik, sehingga jarang muncul di kantor redaksi. Salah
seorang redaktur pernah berkata, selama dua tahun dia bekerja di sana, Njoto
hanya muncul sepuluh kali. Meski begitu, menurut Svetlana dan Iramani, Njoto
sering mengajak mereka ke kantor Harian Rakjat untuk melihat proses pencetakan
medianya. "Kalau malam, pukul 9 sampai pukul 11 berada di kantor Harian Rakjat,"
kata Iramani.
Njoto suka berbicara tentang sastra tapi tak terlalu serius.
"Misalnya ada cerita pendek Rusia yang baru terbit, dia ngomong sebentar, tidak
sampai mendalam," kata Amarzan, yang baru berusia 22 tahun ketika
bergabung di media itu pada Juni 1963.
Harian Rakjat edisi Minggu itu
secara rutin memuat sebuah cerita pendek
dan beberapa puisi, hasil seleksi kiriman para pengarang kiri dan anggota
Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra. Dalam seminggu rata-rata ada lima
pengirim cerita pendek dan 40 pengirim puisi. Setiap orang biasanya mengirim
tiga puisi atau lebih, meski sesekali ada yang bahkan mengirim 20 puisi.
Pada masa itu puisi tumbuh subur
di Jakarta. Penyair papan atas kala itu termasuk Banda Harahap, Sitor Situmorang,
dan Agam Wispi dari kelompok kiri. Di luar itu ada pula Ramadhan K.H., Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, Rendra,
Arifin C. Noer, Hartoyo Andangjaya, dan Budiman S. Hartoyo. Amarzan sendiri,
dalam buku Keith Foulcher, Social
Commitment in Literature and the Arts, disebut sebagai penyair Lekra yang
paling penting.
Para penyair kiri umumnya
mengirim puisi ke Harian Rakjat Minggu,
meski bila dimuat mereka tak mendapat honor. Koran setebal empat halaman itu
seakan menjadi standar dalam sastra. Puisi yang dimuat biasanya memenuhi dua
aspek-istilah mereka, dua tinggi-yaitu tinggi ideologinya dan tinggi
estetikanya. Di antara karya penyair Lekra, puisi Njoto tidak bisa dibilang
bagus, meski bukan puisi yang buruk. Kualitasnya rata-rata.
Sebagian besar puisi karya penyair
Lekra itu berupa propaganda, slogan, atau yang disebut sajak poster.
Kebanyakan, aspek ideologi dalam sajak mereka, kata Amarzan, masih mentah, asal
menyerang tuan tanah, kapitalis birokrat, atau Amerika. "Sajak-sajak Njoto
itu tinggi ideologi, tapi tidak berkibar-kibar. Kalau dibuat pemeringkatan di
Lekra, dia pasti tidak masuk peringkat satu. Saya kira paling tinggi peringkat dua," katanya.
Namun puisi Njoto lebih baik daripada sajak Aidit. "Sajak Aidit itu jelek benar,
sajak-sajak maksa," kata sosok yang pernah membuat marah Aidit karena
menolak memuat puisi karya pimpinan tertinggi PKI itu.
Asahan Aidit, adik bungsu D.N. Aidit, menilai Njoto
benar-benar menguasai bidang yang digelutinya, termasuk sastra, terutama esai. "Hal
itu bukan otomatis begitu saja, tapi Njoto adalah juga seorang otodidak besar
yang punya banyak perhatian dan banyak studi, termasuk di bidang sastra. Dia
menguasai karena dia juga banyak studi, banyak membaca, dan dia mempunyai otak
yang cerdas serta apresiasi sastra yang tinggi," katanya melalui surat
elektronik.
Aroma pamflet memang terasa dalam puisi seperti
"Catatan Peking"
ini:
Alangkah hebat
di hati alangkah dekat!
kaum tani mengolah besi
kaum buruh di sawah berpeluh
bajak dan baja tukar-bertukar
mahasiswa pada pekerja
kaum pekerja menjadi siswa
berjuta milisia angkut senjata
siapa berani serang Sosialisme?
Njoto adalah orang yang menyusun piagam Lekra dan
memperkenalkan slogan "politik sebagai panglima". "Tanpa politik
sebagai panglima, perkembangan kebudayaan pada umumnya dan sastra pada
khususnya tidak bakal tahu tugas dan garis yang harus ditempuh, bisa terjadi
demam kegiatan, tapi kenyataannya akan merupakan gerakan tanpa kemajuan,"
kata dia di hadapan peserta Kongres Nasional Lekra pada 1951.
Namun, seperti kata Asahan, estetika Njoto tidak berhenti
pada estetika pamflet atau pernyataan. Dia telah melampaui batas-batas yang dikurung
oleh Lekra sendiri. "Njoto adalah Lekra modern yang lebih universil di
bidang kebudayaan, termasuk sastra. Sastra Njoto lebih demokratis dan lebih
estetis serta lebih universil," katanya. Hal ini tampak dalam sikap Njoto
dalam tuduhan plagiarisme terhadap Tenggelamnya Kapal Van der Wijk karya Hamka.
Njoto adalah orang yang menyarankan agar Lekra tidak "menghancurkan"
Hamka.
Sumber: Tempo/KPG
No comments:
Post a Comment