Thursday, 10 February 2011

Sajak-sajak Goenawan Mohammad

Goenawan Mohammad
Cikini

Syahdan, di kedai kembang itu dibelinya ros putih,
dan dituliskannya di secarik kartun: 'Aku
mencintaimu, kekal, seperti kucintai Audrey Hepburn'

Tapi (di sini ia berhenti sebentar, batuk,
menutupkan krah jaket, dan berkata pada diri
sendiri), kapan tahun tak akan memburuk?

Hidup mungkin sebuah bioskop, tapi tidak di jalan
ini. Cikini tetap terjepit juga di dekat pagi,
ketika gelap tak lagi penuh dari langit,

dan dari stasiun kuning, terang lampu tampak
tirus seperti lewat cadar, dan ambulans menggeletar,
mengirimkan isyarat.
Meski tak menyongsong apa-apa... Ia juga tak akan
berangkat. Ia dan Maut ingin berdua, di utara.


Kwatrin Musim Gugur


I
Di udara dingin proses pun mulai: malam membereskan daun
menyiapkan ranjang mati.
Hari akan melengkapkan tahun
sebelum akhirnya pergi.
II
Kini akan habis matahari
yang membujuk anak ke pantai
Tinggal renyai.
Warna berganti-ganti. Dan engkau tak mengerti
III
Pada kalender musim pun diam.
Pada kalender aku pun bosan.
Di bawah daun-daun merah, bersembunyi jejak-Mu singgah
Sunyi dan abadi. Musim panas begitu megah.
IV
Kabar terakhir hanya salju
Suara dari jauh, dihembus waktu
Kita tak lagi berdoa. Kita bisa menerka
Hanya ada senja, panas penghabisan yang renta
1967-1968

Di Muka Jendela

Di sini
cemara pun gugur daun. Dan kembali
ombak-ombak hancur terbantun.
Di sini
kemarau pun menghembus bumi
menghembus pasir, dingin dan malam hari
ketika kedamaian pun datang memanggil
ketika angin terputus-putus di hatimu mengigil
dan sebuah kata merekah
diucapkan ke ruang yang jauh:- Datanglah!
Ada sepasang bukit, meruncing merah
dari tanah padang-padang yang tengadah
tanah padang-padang terukur
di mana tangan-hatimu terulur. Pula
ada menggasing kincir yang sunyi
ketika senja mengerdip, dan di ujung benua
mencecah pelangi:
Tidakkah siapa pun lahir kembali di detik begini
ketika bangkit bumi,
sejak bisu abadi,
dalam kristal kata
dalam pesona?
1961

Catatan-Catatan Jakarta
I
Jendela-jendela pun sunyi
Menangkap kelam kali
Yang kering, yang terasing
Jauh dalam kerak musim
Dan bersitahanlah kota: ruang-ruang tua
Bertalu-talu beribu gema
Langkahan hidup yang gigih
Di bumi letih
II
Sisa sedihkah riuh-rendah
Dari sesuatu yang hilang dilupa
Antara gairah, antara gelisah
Bila tahun-tahun pun tiba?
Sisa sedihkan ini senyap
Dalam getar separuh senja
Antara deru mobil, huruf berlampu kerjap
Sungai yang tak berkata-kata?
III
Pada puncak-puncak licin ini
kupahatkan letihku di deru pagi
Karena telah terhisap keringat oleh malam
Mengucur ke daratan amat tajam
Pada detik-detik panjang ini
Kubangunkan rumah, kubangunkan bumi
Antara air mata, sajak-sajak yang tertinggal
Antara martil berdegar-degar
Tapi tidakkah pada akhirnya akan ditinggalkan
Seorang jauh di senja masa depan
Yang makin menganga, semakin pancang ditegakkan
Ketika lampu-lampu berpendaran, embun jatuh berkepanjangan
IV
Sidang malam hari ini
Menggegar ruang beribu kursi
Tentang seratus tahun-tahunmu, saudaraku
Riwayat yang datang dalam cetak-biru
Pidato malam hari ini
Terkelupas dari lembar-lembar lesi
Sebuah legenda - sebuah legenda, saudaraku
Dalam kuap panjang yang satu
Berita apakah akhirnya
Yang pecah di puncak kota
Engkau tahu
Dan sajak pun tahu
Derita apakah jadinya
Yang terpupus serasa dusta
Aku tahu
Den engkau pun tahu
Berpijarlah yang hijau: daun serta rumputan taman
Berderailah. Dan lampu-lampu pun padam berturutan
Bersama satu kereta - mentari membola - ayam pagi
Dan semua yang kepada kita aka kembali
Maka bangkitlah: kehangatan pasar pun lepas lelap
Dan tersenyum. Kini rumah-rumah telah rekahkan pintu-halaman
Untuk menghadang, meski tak mengerti: semacam aspal jalan
Semacam kotak-surat - atau rel-rel suram kemerlap
1961

Asmaradana

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.
Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.
Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.
Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.

1 comment:

  1. org ini apa ya (gm mksdku), spt ensiklopedi berjalan. byk skali yg dia tau. dan, ketika menuangkan ke puisi atau esai, dan sejenisnya tetap terasa menyenangkan untuk dibaca.

    ReplyDelete