Saturday, 28 April 2012

Soekarno dan Marhaenisme

Marhaenisme dikembangkan oleh Soekarno sebagai sebutan lain untuk kaum proletarnya Marx. Dasar-dasar Marheinisme dituliskannya dalam surat kabar Fikiran Rakyat pada tahun1933. “Marhaenisme adalah asas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan Marhaen. Marhaeinisme juga cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya harus cara perjuangan yang revolusioner. Jadi Marhaenisme adalah cara perjuangan dan asas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap Kapitalisme dan Imperialisme,”(Soekarno: Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek, hlm 146). Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa Soekarno tidak menerima ideologi Marxisme secara utuh, tetapi dengan alternatif lain menyebut kaum proletarnya Marx dengan kaum Marhaenisme. Terlihat usaha Soekarno dalam mengangkat rakyat bawah bangsa Indonesia. “Marhaenisme adalah sosialisme dalam praktek” dan “tidak adanya penghisapan tenaga seseorang oleh orang lain,” demikian kata Soekarno. Menurut Soekarno, kaum Marhaen bukanlah kaum proletar Marx (buruh) saja, tetapi kaum tani melarat, kaum dagang kecil, kaum ngarit, kaum tukang kaleng, kaum grobag, kaum nelayan, tukang becak, dan kaum-kaum lain kata Soekarno (hlm 147). Pemikiran mengenai Marhaenisme menurut saya, membuat Soekarno disebut juga seorang revolusioner yang mengangkat martabat manusia, menentang kapitalisme yang terinspirasi oleh ‘‘Das Capital’’ oleh Marx, Kolonialisme, feodalisme (tuan tanah dan buruh) dan Imperialisme. Soekarno bukan penerima ajaran Marxisme pasif, tetapi lebih mengembangkan, mencari alternatif lain disesuaikan dengan kepribadian bangsa Indonesia melalui Marhaenismenya.


Soekarno

Menurut Soekarno, Marhaen sebagai unsur basis massa, dapat digerakkan untuk suatu perubahan yang revolusioner. Suatu revolusi yang dalam rangka anti-Kolonialisasi dan Imperialisme. Ideologi Marx tetap dibutuhkan mengenai sosialis dan komunis tetap dibutuhkan untuk mencapai sosialisme nasionalis yang dicita-citakannya. Itulah mengapa PKI tidak dibubarkan setelah melakukan pemberontakan sebab PKI dapat digunakan sebagai tombak (avant-garde) dari kekuatan –kekuatan revolusioner sehingga keberadaannya tetap dibutuhkan untuk melaksanakan keadilan sosial dan kemakmuran masyarakat. Menurut Soekarno Marhaenisme tidak akan berjalan bila tidak ada partai pelopornya dalam menggerakkan massa atau ‘machtsvorming’ (kekuasaan). Di samping itu juga memerlukan asas perjuangan yaitu sosio-nasionalisme yaitu nasionalisme yang mencari selamatnya seluruh masyarakat yang bertindak menurut masyarakat dan sosio-demokrasi, yaitu masyarakat yang bebas dari kapitalisme dan imperialisme, bukan hanya demokarsi politik tetapi diterapkan juga demokrasi ekonomi (Soekarno: Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek, hlm 151)
Uraian di atas, membenarkan bahwa Soekarno merupakan Marxis aktif bagi penulis, tetapi bukan komunis, yang dimaksud marxis aktif adalah tidak menerima begitu saja marxisme, tetapi mengembangkannya dengan mencari alternatif lain disesuaikan dengan kepribadian bangsa Indonesia, seperti yang telah diuraikan di atas. Soekarno mengaku dalam bidang politik adalah seorang nasionalis, dalam bidang agama adalah Islamismedan seorang Marxis. Inilah yang menurut penulis, Soekarno adalah seorang tokoh yang terdiri dari tiga unsur di atas. “Kuulangi aku adalah sosialis bukan komunis," tegasnya kepada Cindy Adams yang menulis otobiografinya. “dan aku tak akan pernah menjadi komunis”, tegasnya lagi (hlm 152). Bukti, bahwa Soekarno adalah seorang marxis yang aktif adalah salah satu hasil pemikirannya, yaitu Marhaenisme yang dapat menuju sosialisme Indonesia yang dicita-citakan. Berikut petikannya mengenai hal tersebut.
“Sosialisme kami adalah sosialisme yang dikurangi dengan pengertiannya materialistisnya yang ekstrim, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang terutama takut dan cinta pada Tuhan. Sosialisme kami adalah suatu campuran. Kami menarik persamaan politik dari Declaration of Independence, menarik persamaan spiritual dari Islam dan Kristen. Kami menarik persamaan istilah Marx. Ke dalam campuran yang tiga ini, kami tambahkan kepribadian nasional: Marhaenisme, kemudian kami memercikkan ke dalam gotong-royong yang menjadi jiwa., inti daripada berkerja sama, hidup bersama dan saling bantu-membantu. Kalau ini dicampurkan semua, maka hasilnya adalah Sosialisme Indonesia,” (Soekarno: Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek, hlm 152).
Soekarno seorang marxis tetapi beliau hanya menggunakan pendekatan ilmiahnya saja, tidak sampai menggunakan mekanisme penggunaaan sistem politik dan ekonomi gaya marxisme. Soekarno hanya menginginkan jiwa dari ajaran itu, yaitu mengenai hubungan yang eksploitatif antara pemilik modal dan pekerja. Sehingga dengan meminjam pendekatannya saja, Soekarno berkesimpulan bahwa tipe manusia yang ada dalam diri Indonesia adalah ‘Marhaen’. Marhaen adalah hasil pemikiran orisinil Soekarno dalam menyebut alternatif rakyat bangsa Indonesia. Untuk itu, Soekarno bukan seorang marxis pasif, tetapi marxis aktif menurut penulis. Beliau membuat alternatif lain dalam menerima ajaran Marxist, yaitu disesuaikan dengan bangsa kepribadian bangsa Indonesia.
Marxis Soekarno adalah Marxisme yang ber-Pancasila, yaitu Marxisme yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, berlawanan dengan Marxisme Marx-Leninisme yang ateis, sebab meletakkan ekonomi di atas segala-galanya untuk segala sesuatu yang terjadi di atas dunia ini sehingga unsur agama dan ketuhanan menjadi hilang peranannya (hal ini yang ditolak Soekarno, perlu diingat beliau adalah seorang Agamis-Islamisme). Dapat disimpulkan bahwa Soekarno bukanlah Marxisme murni Marx-Leninisme. Hal inilah yang membuat khawatir PKI karena Soekarno memiliki Konsep Sosialisme Indonesia sendiri, seperti yang telah diuraikan di atas. (Soekarno: Pemikiran Politik dan Kenyataan Parktek, 1988, hlm 168-170).

No comments:

Post a Comment