Tuesday 21 May 2013

Aidit Muda Tertarik Politik di Batavia (Jakarta)


D.N Aidit

Tahun 1936...

“Aku mau ke Batavia,” kata Achmad Aidit kepada ayahnya, Abdullah. Ketika itu, Aidit baru berusia 13 tahun, baru lulus Hollandsch Inlandsche School (setingkat SD). Di Belitung, sekolah “paling tinggi” hanya itu. Untuk masuk ke sekolah menengah (atau MULO), para pemuda harus ke Medan atau Jakarta.

Merantau ke Batavia bukanlah pilihan yang lazim pada masa itu. Pemuda yang merantau ke tanah Jawa, bisa dihitung dengan jari. Namun, Aidit bisa meyakinkan ayahnya.

“Abang saya paling jarang meminta sesuatu kepada Bapak,” kata Murad Aidit (adik kandung Aidit). Kalau sudah meminta sesuatu, itu artinya tekad Aidit sudah benar-benar bulat.

Menurut, adik kandung Aidit yang lain, Sobron, untuk diizinkan merantau, seorang remaja harus memenuhi empat syarat: bisa memasak, bisa mencuci pakaian sendiri, sudah disunat, dan sudah khatam mengaji. Keempat syarat itu sudah dipenuhi Aidit.

*

Sesampainya di Batavia, Aidit ditampung di rumah kawan ayahnya, Marto, seorang mantri polisi di kawasan Cempaka Putih. Sayangnya, pendaftaran MULO sudah ditutup ketika Aidit tiba di Jakarta. Aidit harus cukup puas bersekolah di Middestand Handel School (MHS), sebuah sekolah dagang di jalan Sabang, Jakarta Pusat.

Bakat kepemimpinan Aidit dan idealismenya yang berkobar-kobar langsung menonjol di antara kawan sebayanya. Di sekolah yang baru, Aidit mengorganisasi kawannya melakukan bolos masal untuk mengantar jenazah pejuang kemerdekaan Muhammad Husni Thamrin, yang ketika itu akan dimakamkan. Karena terlalu aktif, Aidit tak pernah menyelesaikan sekolahnya ini.

Tiga tahun di Cempaka Putih, Aidit pindah ke sebuah rumah di Tanah Tinggi 48, kawasan Senen,Jakarta Pusat. Ketika indekos di sini, Murad datang menyusul dari Belitung, juga untuk bersekolah di Jakarta.

Menyekolahkan dua anak jauh dari rumah tentu tak mudah untuk keuangan Abdullah Aidit. Gajinya sebagai mantri kehutanan hanya sekitar 60 gulden sebulan. Dari jumlah itu, 15-25 gulden dikirimkan ke Batavia. Tentu saja, jumlah itu juga pas-pasan untuk dua bersaudara Aidit.

Apalagi ketika masa pendudukan Jepang tiba pada 1942, hubungan komunikasi antara Jakarta dan kota sekitarnya terputus total. Saat itu, dari rumah tumpangannya di Tanah Tinggi, Aidit menyaksikan ribuan orang berduyun-duyun menjarah gudang-gudang perkapalan di Pelabuhan Tanjung Priok. Dari pagi sampai sore, aneka jenis barang diangkut massa ke Pasar Senen mulai dari ban mobil, mesin ketik, sampai gulungan kain bahan baju.

Kiriman uang dari Belitung macet, mau tak mau, Aidit dan Murad harus mulai bekerja. Aidit lalu membuat biro pemasaran iklan dan langganan surat kabar bernama Antara. Lama-kelamaan, selain biro iklan, Antara juga berjualan buku dan majalah. Tatkala, abangnya sibuk melayani pelanggan, Murad berjualan pin dan lencana bergambar wajah pahlawan seperti Kartini, Dr Soetomo, dan Diponegoro di dekatnya.

Berdagang memang bukan pekerjaan baru untuk Aidit. Ketika masih tinggal di Belitung, setiap kali ada pertandingan sepak bola di Kampung Parit, Aidit selalu berjualan kerupuk dan nanas. “Untuk ditabung,” Sobron berkisah.

Tak puas dengan perkembangan usahanya, Aidit kemudian mengajak seorang kawan yang tinggal satu indekos dengannya, Mochtar, untuk berkongsi. Mochtar ini seorang penjahit yang punya toko lumayan besar di Pasar Baru. Karena lokasi usahanya strategis, toko Mochtar segera menjadi tempat mangkal para aktivis masa itu, seperti Adam Malik dan Chaerul Saleh. Jaringan relasi Aidit semakin meluas.

Ketika Mochtar menikah dan menyewa rumah sendiri di kawasan Kramat Pulo, Aidit dan Murad ikut ke sana. Kondisi ini menguntungkan Aidit karena Mochtar membiarkan kakak-beradik ini tidak membayar sewa. “Pakai saja untuk keperluan lain,” katanya seperti yang ditirukan Murad. Tapi, kalau Mochtar sedang butuh duit, setoran uang sewa Murad akan dimasukkan ke kantong. Biasanya kalau begitu, Aidit akan menggerutu. “Kamu sih terlalu menyodorkan-nyodorkan uangnya, makanya dia terima,” katanya memarahi Murad.

Namun, situasi ekonomi yang terus memburuk membuat Aidit akhirnya angkat tangan. Murad diminta tinggal di sebuah asrama korban perang, sebelum dikirim pulang ke Belitung.

*

Situasi politik Ibukota yang gegap-gempita sudah menarik Aidit sejak awal. Dia pertama-tama bergabung dengan Persatuan Timur Muda atau Pertimu. Perkumpulan ini dimotori Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di bawah pimpinan Amir Syariffudin dan Dr Ahmad Kapau Gani. Dalam organisasi inilah persinggungan Aidit dengan politik kian menjadi-jadi. Hanya dalam waktu singkat, Aidit diangkat menjadi Ketua Umum Pertimu.

Di balik karirnya politiknya yang mulai menjulang, Aidit seperti mencoba mengibaskan bayang-bayang keluarga dan masa lalunya seperti di Belitung. Ketika Murad berkali-kali meminta bantuan keuangan, misalnya, Aidit selalu menolak. Suatu kali Aidit bahkan berujar bahwa persamaan di antara mereka hanyalah faktor kebetulan karena dilahirkan dari ibu dan bapak yang sama. “Selebihnya, tak ada hbungan apapun di antara kita,” katanya.

Sekitar masa-masa itulah, Achmad Aidit memutuskan berganti nama. Dia memilih memakai nama Dipa Nusantara - biasa disingkat DN. Menurut adik-adiknya, pergantian nama itu dipicu perhitungan politik Aidit. “Dia mulai membaca resiko,” kata Murad. Sejak namanya berubah itu memang tak banyak orang tahu asal-usulnya Aidit. Dia sering disebut-sebut berdarah Minangkabau dan DN di depan namanya adalah singkatan “Djafar Nawawi”.

Proses perubahan nama itu juga tak mudah. Abdullah, ayah Aidit, tak bisa dengan segera menerima gagasan anaknya. Di depan anak-anaknya, Abdullah mengaku tidak bisa menerima rencana pergantian nama itu karena  nama Achmad Aidit sudah tercetak di slip gajinya sebagai putra sulung keluarganya. Akan muncul banyak persoalan jika nama itu mendadak lenyap dari daftar keluarga.

Abdullah dan Aidit bersurat-suratan beberapa kali sebelum ayahnya menyerah. Ayah dan anak itu sepakat nama DN Aidit baru akan dipakai jika sudah ada pengesahan dari notaris dan kantor Burgelijske Stand-atau catatan sipil (sumber: Tempo, 7 Oktober 2007)

No comments:

Post a Comment