Thursday 23 May 2013

Trisula PKI: Aidit-Lukman-Njoto PascaMuso


Tanggal 19 September 1948 merupakan tanggal bersejarah bagi PKI. Revolusi yang dilakukan PKI itu memakan anak sendiri. Sebelas pemimpin teras PKI tewas. Muso, Amir Sjarifudin, dan Maruto Darusman ditembak mati di Desa Ngalihan. Partai menjadi limbung, tercerai-berai.

Namun, tiga anak muda muncul sebagai tulang punggung partai (Aidit, Njoto, dan Lukman). Ketiganya menghidupkan partai dan bisa membuat lebih besar. Ketiganya dikenal sebagai Trisula PKI: Sekretaris Jenderal, Wakil Sekjen I, dan Wakil Sekjen II.



Dipa Nusantara Aidit pertama kali bertemu dengan Mohamad Hakim Lukman pada 1943 di Menteng 31,Jakarta. Bekas Hotel Schomper itu terkenal sebagai sarang para pemuda aktivis kemerdekaan. Mereka bergabung dengan Gerakan Indonesia Merdeka. Aidit tiga tahun lebih muda daripada Lukman, yang ketika itu baru 23 tahun. Aidit kemudian menjadi Ketua Dewan Politik Gerakan Indonesia Merdeka dan Lukman anggota.

Sejak itu, Aidit dan Lukman menjadi akrab dan seolah ditakdirkan melakoni sejarah hidup yang sama. Keduanya pada 1944 terpilih masuk Barisan Pelopor Indonesia-kumpulan 100 pejuang paling setia kepada Bung Karno. Keduanya pernah dijebloskan ke penjara Jatinegara oleh Polisi Militer Jepang karena ikut demonstrasi di Lapangan Ikada pada 19 September 1945. Keduanya juga pernah ditangkap dan ditawan di Pulau Onrust, Jakarta, selama tujuh bulan.

Keduanya bersama memilih jalan komunis dan berguru ke tokoh-tokoh komunis senior. Saat mejadi penghuni Menteng, mereka misalnya menjalin kontak dengan Widarta, penanggung jawab organisasi bawah tanah PKI Jakarta. Widarta adalah akwan akrab Wikana, pemimpin PKI Jawa Barat yang terkenal cerdas. Aidit dan Lukamn terkesan pada Wikana.

Sampai-sampai, setelah bebeas dari Onrust, mereka mencari Wikana di Yogyakarta. Di Yogya, saat itu, pemimpin PKI Sradjono, eks Digulis, baru saja memindahkan kantor pusat PKI di Jalan Boemi 29, Solo, ke Jalan Bintaran, Yogyakarta. Aidit dan Lukman kemudian tinggal di Yogya. Mereka menghidupkan majalah dwibulanan Bintang Merah. Di sinilah keduanya lalu beretmu Njoto. Njoto saat itu 19 tahun. Pemuda berkacamata tebal itu adalah wakil PKI Banyuwangi dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Sejak itulah terjalin persahabatan antara Aidit, Njoto, dan Lukman. Saat KNIP bersidang di Malang pada Maret 1947, Aidit terpilih sebagai ketua farksi PKI, Njoto memimpin Badan Pekerja KNIP. Aidit, Njoto, dan Lukman kemudian masuk ke Komisi Penterjemah PKI di awal 1948, yang tugasnya menerjemahkan Manifes Partai Komunis karya Karl Marx dan Frederich Engels.

Pada Agustus 1948, tiga serangkai ini sama-sama menjadi anggota Comite Central PKI. Aidit mengurus agraria, Lukman di sekretariat agitasi dan propaganda, sedangkan Njoto menjalin relasi dengan badan-badan perwakilan.

GEGER MADIUN...

Aidit sempat tertangkap, tapi dibebaskan karena tak ada yang mengenalnya. Ibarruri Putra Alam, putri sulung Aidit, melukiskan ayahnya bisa lolos ke Jakarta dengan menyamar menjadi pedagang Cina. “Rambutnya digundul habis, Papa ikut iring-iringan konvoi dagang,” Njoto dan Lukman, kemudian menyusul Aidit ke Jakarta.

Di Jakarta, trio Aidit-Lukman-Njoto ditempa. “Mereka menggodok orientasi partai,” kata Sumaun Utomo, bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI, mengenang. Terbunuhnya banyak anggota dalam Peristiwa Madiun membuat mereka harus mandiri. “Mereka jadi independen karena tak punya tempat lagi bertanya,” kata Murad Aidit dalam bukunya Aidit Sang Legenda.

Mereka diam-diam memperluas jaringan PKI di Jakarta dengan membentuk Order Seksi Comite di tingkat kecamatan. Adapun organisasi dijalankan lewat sistem komisariat di Comite Central. Situasinya sulit karena setiap kabinet alergi komunisme.

Sampai-sampai itu membuat trio Aidit-Lukman-Njoto harus bersembunyi dengan menyamar. Aidit dan Lukman bahkan pernah disiarkan pergi Ke Cina pada 1949. Padahal itu hanya bualan belaka untuk mengecoh pengejaran. Ada yang bilang sesungguhnya mereka ke Medan. Ada yang bilang ke Jakarta. “Mereka sering menginap di rumah seorang kawan di Kemayoran,” tulis sejarawan Prancis, Jaques Leclerc, dalam Aidit dan Partai pada Tahun 1950.

Dalam situasi serba repot itu, Aidit dan Lukman justru nekat menerbitkan kembali Bintang Merah pada 15 Agustus 1950. Dua pekan sekali mereka meluncurkan stensilan Suara Rakyat, embrio Harian Rakyat yang menjadi koran terbesar dengan oplah 55 ribu per hari. Njoto bergabung di redaksi pada Januari 1951.

Dua tahun kemudian, tiga sahabat kelompok Bintang Merah ini memimpin partai. Aidit menjadi sekretaris jenderal, Lukman wakil sekjen I, dan Njoto wakil sekjen II (jabatan  ini diganti menjadi ketua dan wakil ketua pada 1959).

Sebagai ketua, Aidit memelototi politik secara umum. Lukman yang jago main sepakbola, memimpin front persatuan. Urusan agitasi dan propaganda kini diemban Njoto. Tak cuma berorganisasi, untuk meluaskan jaringan mereka mendirikan sekolah, dari tingkat dasar sampai universitas.

Tiga tahun berlalu, karier politik Aidit makin moncer. Ia “mengkudeta” kelompok PKI tua, Alimin dkk, yang dinilai melakukan banyak kesalahan. Tan Lian Djie, anggota senior politbiro, didepak karena perbedaan pandangan politik. Didukung sejumlah aktivis muda dalam Kongres V PKI, 1951, ia berhasil mencapai posisi ketua CC.PKI.

Usaha itu berbuah. Pada PEMILU 1955, PKI menclok di urutan keempat. Hasil itu membuat Aidit optimis partainya bisa meraih posisi nomor satu sebelum 1975. “Asalkan keadaan berjalan normal,”kata Murad mengutip ucapan kakaknya.

Kenyataannya, cita-cita itu terempas. Tragedi 65 menguak cerita bahwa tiga sekawan itu, meski di luar tampak akrab, ternyata tidak melulu solid. Aidit dan Njoto, misalnya amat berbeda pendapat soal teori revolusi. Aidit percaya kup yang didukung sedikitnya 30 persen tentara bisa bermutasi menjadi revolusi. Aidit terinspirasi kudeta di Aljazair tahun 1965. Sebaliknya, Njoto justru mempertanyakan kesahihan teori itu. Ia tak yakin G30S dapat dikategorikan sebagai kudeta yang bisa menjadi revolusi. “Revolusi melawan siapa,” kata Njoto (sumber: Tempo, 7 Oktober 2007)
***
      

No comments:

Post a Comment