Monday, 16 March 2015

Cerpen: Cinta, Sudahlah Aku...




      

     Mega hitam mulai menutupi kota. Super mendung. Hujan deras akan segera turun.

   “Taksi!! Taksi!!” teriak seorang gadis, tapi semua taksi yang terlihat tak ada yang mau berhenti. Berulangkali tangan kirinya diangkat ke depan mukanya, lalu melihat jam tangannya. Tak sabar.

    “Ah sial, rupanya semua orang sedang menggunakan taksi sore ini,” keluhnya.

Tampak dari kejauhan sebuah taksi tiba-tiba berhenti di depannya. Hatinya menjadi tenang. Anvita Avi mulai masuk dan duduk. Menghembuskan nafas lega.

    “Ayo jalan Pak,” perintahnya. Anehnya, taksi itu tak segera berjalan hingga tiba-tiba seorang laki-laki berpostur tinggi, berkacamata hitam besar, dan berkemeja putih rapi masuk dan menutup pintu. Taksi segera berjalan. Hujan deras turun lebat.

      Selang beberapa detik...

    “Habis jemput anaknya dari kuliah ya Pak?” tanya pria berbau wangi ini, lalu tersenyum ke Anvita. Anvita hanya tersenyum dengan mencoba memahami keadaan yang sedang terjadi ini. Entah kenapa, ia tidak mempertanyakan, mungkin karena di luar sudah hujan.

   “Haa, anaknya. Anak siapa Pak Roy?” komentarnya, lalu menoleh ke belakang. Tak mengenal.

   “Nona siapa?” tanya Roy heran kini. Anvita tersenyum.

   “Lho saya yang masuk pertama kali di taksi ini,” ucap Anvita membela diri.

  “Tapi saya yang pesan dan langganan taksi ini setiap hari,” Roy merasa benar. Waktu seolah terhenti. Ada sebuah kesalahpahaman yang sedang terjadi.

**
      Selang beberapa hari. Di ruangan front office sebuah kantor.

   “Sudah-sudah tak usah dibahas yang kemarin. Lupakan saja,” ucap Roy merasa malu. Dia tak menyangka reporter radio yang diundang khusus untuk meliput acara pembukaan cabang supemarketnya yang baru adalah Anvita Avi. Radio tempat Anvita bekerja memang yang paling terkenal di kota ini. Tak hanya didengarkan kaum muda, tapi seluruh lapisan masyarakat.

   “Memang saya yang salah. Ketika itu aku ada siaran dan harus memaksa taksi itu berbelok ke arah tempatku bekerja hingga kita bertengkar soal arah jalan,” jelasnya mencari jalan terbaik.

   “Mari ikut saya untuk berkeliling di supermarket saya yang baru,”ajaknya kini.

   “Tolong nanti yang ditekankan adalah bahwa produk-produk yang dijual merupakan produk dengan kualitas nomor satu dan murah,”pesannya lalu berkeliling melihat lokasi foodcourt yang rencananya akan menyediakan menu-menu vegetarian dan berbahan organik.

** 
    “Boleh dibilang kau ini sudah pacaran dengannya,” ucap Rani menegaskan ketika melihat rekannya ini sering jalan berdua dengan Roy, pengusaha muda yang saat ini sedang menekuni dunia supermarket.

     “Ah kamu, pertemuan-pertemuan itu kan dalam rangka kerjasama bisnis dengan radio kita. Kita harus melayani klien dengan baik dong,” sanggah Avanti meski isi hatinya memang begitu senang ketika membahas tentang banyak pertemuan yang dilakukannya dengan Roy.

    “Masak pertemuan bisnis dengan sering makan malam, sekali-kali nonton bioskop, lalu makan siang bareng. Aku sampai lupa menghitungnya,” suara tak percaya Rani sambil mengitung dengan jari-jarinya yang tak cukup untuk menghitung. Avi hanya menjulurkan ujung lidahnya karena kehabisan kata-kata untuk berkomentar.

    “Kalau aku sih mau saja. Lajang, muda, pengusaha, dan kaya. Sikat saja Vi,”komentarnya.

    “Auuuw, sakit tahu!!” suara Rani kesakitan karena lengannya dicubit Avi keras.

*
      Kini Avi sedang on air...

   “Selamat sore menjelang malam para pendengar tercinta. Apa kabar, pasti kabar baik untuk semuanya. Kali ini, topik yang akan kita bahas selama dua jam ke depan adalah tentang jatuh cinta. Siapa yang tak pernah jatuh cinta. Silakan cerita apa saja, yang happy-happy boleh dan yang sedih-sedih juga boleh. Terserah. Yuk ceritakan pengalamanmu dengan menelepon di nomor biasa, 989555. Kami tunggu ya,” Avi menekan tombol play untuk memutar sebuah lagu.

     Lagu yang diputar mulai habis dan operator mulai memberi tanda untuk segera siaran lagi.

    “Ayo siapa yang mau sharing cerita tentang pengalaman jatuh cintamu. Yuk segera telepon,” suara Via memancing para pendengarnya. Suara dering telepon pun berbunyi.

    “Halo dengan siapa ini,” tanya Via antusias.

    “Dengan R, panggil saja R,” jawab seseorang yang menelepon dengan gayanya yang misterius.

   “Oke R, yuk ceritakan kisah cintamu,” katanya menyilakan. Avi merasa tidak asing dengan suara ini, tapi dia belum meyakini jika itu suaranya.

   “Akhir-akhir ini, aku sedang dekat dengan seseorang. Perjumpaan kami pun tak disangka seolah ini memang sudah menjadi jalan hidupku. Aku tak tahu apakah ini disebut cinta atau bukan. Aku hanya merasa nyaman saja dengannya. Matanya seperti matahari bagiku, ada sinar yang memancar meneduhkanku apalagi parasnya. Aku hanya ingin bersamanya, berbagi waktu dengannya. Tak ada yang lain. Hanya ingin menemaninya hingga akhir masa kalau boleh. Yang ingin kutanyakan kepada penyiar dan para pendengar, apa yang harus kulakukan. Demikian, terima kasih,” lalu terdengar suara telepon terputus.

    “Ayoo siapa yang memberi saran untuk cerita cinta R tadi,” tanya Via kepada pendengarnya. Tak sampai beberapa detik telepon berbunyi. Terus berdering dengan penelepon yang berbeda.

    “Itu cinta. Itu artinya cinta. Segera tembak saja kalau aku,” komentar dari seorang pendengar.

   “Sudah R, katakan saja kau mencintainya. Ditolak urusan nanti,”saran dari pendengar lain.

    “Itu cinta sejatimu, ayo lamar dia R,” suara memaksa dari pendengar lain.

Kini siaran radio justru diisi oleh banyak saran dari puluhan pendengar yang menyarakan untuk si R segera menyatakan, mengungkapkan cintanya. Lima menit menjelang siaran selesai, telepon berdering lagi.

    “Halo dengan siapakah ini. Ini adalah penelepon terakhir di siaran ini ya,” tanya Via memastikan agar tak ada yang menelepon lagi.

   “Ini dengan R tadi. Bolehkan saya sedikit berkomentar dengan tanggapan-tanggapan tadi,” meminta izin.

   “Karena kamu telah menjadi bintang radio di sore ini. Kamu diijinkan. Silakan,” ucap Via memperbolehkan.

    “Terima kasih buat para pendengar yang sudah memberikan saran tadi. Minggu besok aku akan menyatakannya dengan segala konsekuensinya. Terima kasih banyak atas saran-sarannya. Terima kasih,” suara telepon ditutup dan acara ini diakhiri dengan lagu romantis Right Here Waiting dari Richard Marx.

    “Buruan pindah gih. Acaraku sudah mau mulai nih,” usir Rani kepada Avanti karena akan segera on air dengan acara yang berbeda. Avanti segera berdiri meninggalkan ruangan siaran.

   “Avi tunggu! Aku lupa. Baca tulisanku di kertas ini ya. Kamu akan terkejut,” panggil Rani menghentikan langkah Rani yang katanya juga ingin segera pulang.

*

    Hati Avanti tiba-tiba mulai resah malam ini. Jantungnya berdebar-debar, sangat kencang ketika melihat tulisan yang ditulis Rani. Rasa dingin sehabis mandi tiba-tiba hilang seketika. Wajahnya tiba-tiba terlihat pucat di cermin tapi bukan karena sakit. Ada rasa kegembiraan yang besar di dadanya. Akankah hal itu akan segera terjadi.

Tulisannya:

Kau tahu Vi, siapakah R yang tadi menelepon. Itu adalah nomor Roy. Aku tahu karena nomor-nomor hp klien bisnis tercatat di database radio kita. Mampus kamu, besok Minggu akan ditembak Roy. Selamat ya dan semoga itu kamu...Hahahaha (ketawa ala iblis)

    Rasa lelah dan kantuk yang tadi terasa kuat kini hilang. Avanti menjadi resah di tempat tidurnya dengan kening sedikit berkeringat. Avanti pasti tidak akan bisa tidur nyenyak hingga hari Minggu terlewati. Kini kedua matanya hanya menatap langit yang berbintang banyak seolah meminta restu dan jawaban dari langit.

** 


   “Jadi makan kan?” tanya Roy dan Anvita mengangguk setuju.

    “Tak terasa kita sudah dua minggu jadian. Tidak sangka ya?” tanya Roy setelah menjemput Anvita selesai siaran dari stasiun radionya.

   “Entah kenapa tanpamu sedetik pun. Aku juga merasa sepi Roy,” tanganya merangkul Roy yang sedang menyetir.

   “Ya beginilah cinta, yang aku paling suka dari cinta. Bahagia,” komentar Roy sambil melirik Anvita. Mobil berbelok. Menuju ke cafe langganan yang sering mereka datangi akhir-akhir ini.

    “Terima kasih sudah menemaniku dengan hari-hari yang menakjubkan Vi,” ucapan terima kasih Roy setelah selesai makan dengan mengecup kening Anvita. Alunan musik instrumen piano dengan lagu First Love sungguh pas menemani mereka malam ini.

  “Aku juga berterima kasih karena kau sudah membuatku menjadi berarti. Aku tak mau kehilanganmu Roy,” ucap Anvita lalu memeluk Roy erat. Telepon seluler Roy tiba-tiba berdering. Roy tampak serius berbicara dengan si penelepon. Anvita justru semakin menikmati hubungan mereka hingga malam ini. Tak ada kekecewaan, hanya kegembiraan yang ada.

**

   Pagi-pagi benar, Roy menuju bandara. Dia telah dijemput dengan pesawat jet pribadinya. Sebuah surat dititipkan ke pegawainya, sebuah surat untuk Anvita. Roy tidak mau menelepon karena akan membuatnya khawatir. Tampak Roy juga dilema antara memilih orangtuanya atau Anvita.

   Selang beberapa jam, surat tersebut telah sampai di tangan Anvita. Kedua matanya mulai menitikan air mata karena kini ada jarak dan waktu yang akan memisahkannya dengan Roy. Berat sungguh rasa hati dari Anvita yang sebetulnya ingin selalu berjumpa dengan Roy.

   Dari belakang Rani memeluknya dan memberikan tisu. Roy rupanya menyusul orang tuanya ke Rusia, Moskow. Orangtuanya pun sudah bukan lagi berkebangsaan Indonesia karena Ayahnya memang orang Rusia dan Ibunya juga sudah resmi menjadi warga negara Rusia tahun kemarin. Ibunya ternyata sakit keras, stroke dengan komplikasi hati dan jantung.

     “Kalau sudah jodoh tidak akan lari kemana Vi, tenang,” katanya menenangkan rekannya ini.

**

     Sudah seminggu ini, belum ada kabar dari Roy. SMS dan telepon tidak ada. Saat ditelepon, nomor HP selalu di luar jangkuan. Anvita mengisi kerinduannya dengan mengunjungi tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi berdua. Yang tertinggal seolah hanya kenangan. Anvita seolah-olah merasa Roy selalu dan masih ada di dekatnya. Anvita terus bertahan karena kenangan ini. Kini Anvita sedang duduk di cafe yang sering mereka kunjungi untuk makan malam.

    Sebuah no hp bukan dari provider Indonesia tiba-tiba masuk ke telepon seluler Anvita.

    “Roy!!” panggil gembira Anvita dengan senyum ceria. Dalam beberapa detik, Kedua mata Anvita menangis. Bibirnya tersedu-sedu tak bisa menahan kesedihan ini. Berulangkali, Anvita hanya menjawabnya dengan “Jangan Roy”, “Kembalilah ke sini Roy”, dan “Aku tak mau Roy”

    “Maafkan aku Vi, ini memang tidak mudah. Kalau aku memang tak kembali, tolong cari saja laki-laki lain saja. Aku tahu ini memang tidak mudah. Maafkan aku,” sambungan telepon terputus. Rupanya aset bisnis di Indonesia keluarga Roy dijual untuk pengobatan Ibunya di Rusia. Alhasil, tak ada yang bisa dilakukan lagi di Indonesia selain di Rusia.

   Anvita tampak terus menangis dan terpuruk di salah satu bangku cafe. Membeku dengan kesedihannya. Kenyataan pahit tak bisa ditolaknya meski cinta masih begitu membuainya.

***

No comments:

Post a Comment