Gie: Sebuah Tanya?
# Corat-coret tentang Gie
“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.” Inilah ungkapan yang pernah dikutip dari filsuf Yunani dan diucapkan Gie dalam buku hariannya, seolah dia sudah merasa bahwa akan mati muda.
Soe Hok Gie, lahir di Djakarta, 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An, anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, serta adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Karakter Gie adalah seorang pemuda yang berkarakter teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin menuliskan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Catatan harian Gie, biasanya berisi pikiran-pikiran tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta, dan juga kematian. Dalam buku catatan hariannya, Gie pernah memutuskan bahwa akan bertahan dengan prinsip-prinsipnya, ”Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.”
Jenjang pendidikannya adalah sesudah lulus SD, Gie melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama Strada di daerah Gambir (Konon ketika itu, Gie pernah mendapat salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora,” yang termasuk langka pada saat itu dan tulisan Andre Gide: seorang komunis yang membelot setelah melihat situasi yang menyedihkan di Uni-Soviet). Sejak masih sekolah, Gie memang sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta, bahkan kabarnya, sejak masih duduk di Sekolah Dasar, Gie sudah membaca karya-karya sastra yang serius, Pramoedya Ananta Toer. Hobinya gemar membaca satra ini bisa muncul dikarenakan Ayahnya juga seorang penulis dan novelis.
Pada waktu kelas dua di SMP, prestasi Soe Hok Gie buruk dan tak naik kelas. Namun, Gie tidak mau mengulang karena Gurunya yang tidak adil. Dalam sebuah scene film yang didasarkan pada buku hariannya, Gie pernah berdebat dengan Gurunya tentang Chairil Anwar itu plagiat atau pencipta, menurut Gie, Chairil adalah plagiat karena pengetahuannya banyak membaca. Semenjak itu, perseteruan dengan Gurunya terus terjadi. Berikut ini adalah kata-kata dari Gie yang paling popular ketika itu, yaitu:
“Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.”
Seiring waktu, Gie lebih memilih pindah sekolah dari pada tak naik kelas. Sebuah sekolah Kristen mengizinkan Gie masuk ke kelas tiga. Selepas dari SMP, Gie masuk ke Sekolah Menengan Atas di Kolese Kanisius, jurusan Sastra. Di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Di SMA inilah awal tulisan Gie yang mulai tajam dan penuh kritik. Setelah berhasil lulus, Gie melanjutkan pendidikan ke Universitas Indonesia dan memilih Fakultas Sastra, jurusan Sejarah.
Ketika mahasiswa, Gie adalah salah seorang aktivis, sekaligus mahasiswa dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jurusan Sejarah. Ia suka menulis, di antaranya puisi yang berjudul Sebuah Tanya dan beberapa puisinya yang tak memiliki judul. Beberapa artikelnya pun sering dimuat di media massa. Ia penulis yang produktif di beberapa koran, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 tulisan artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
Sejarah mencatat, Gie mempunyai andil besar dalam tumbangnya rezim Pemerintahan Orde Lama. Untuk mendukung perlawanannya, Gie sempat bergabung sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.
Karena berkarakter teguh dalam memegang prinsipnya, Gie juga pernah sangat kecewa dengan sikap teman-teman se-Angkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah, kemudian setelah lulus berpihak ke rezim Orde Baru yang militeristik tak berbeda dengan rezim sebelumnya. Gie beranggapan bahwa mereka telah lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66 saat duduk di parlemen. Atas sikap teman-temannya itu, Gie bersikap oposisif dan memang sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya. Gie mengganggap rekan-rekan se-Angkatannya sedang berhias memakai gincu dan bedak.
Di sisi lain, Gie ikut mendirikan Mapala UI yang berkegiatan naik gunung. Saat memimpin pendakian Gunung Slamet, Gie pernah mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth.” Gie dengan kawan-kawannya juga pernah menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m.
Kehidupannya menjadi agak berbeda setelah terjadi peristiwa G30S dan Orde Baru mulai berkuasa. Gie banyak menyaksikan kejadian-kejadian di sekitarnya yang begitu kejam, yaitu pembersihan orang-orang di parlemen dan Pemerintahan yang anti-Orde Baru dan berbau Soekarnois atau Komunis. Dia pernah menulis tentang pembantaian orang PKI di salah satu pesisir Bali. Semenjak artikelnya muncul di koran, Gie banyak mendapatkan terror, bahkn dituduh sebagai orang Komunis. Salah satu teman Gie kecil, yaitu Kain Fong menjadi salah satu korban dari pembersihan orang-orang Komunis ketika itu. Di masyarakat bawah, orang-orang begitu saling mencurigai satu sama lain dan beberapa kelompok masyarakat mengejar dan membunuh orang-orang yang diduga Komunis seperti memburu babi hutan.
Bahkan, 8 Desember sebelum berangkat ke Semeru, Gie sempat menuliskan catatannya yang terasa sudah firasatnya akan terjadi suatu hal yang buruk : “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”
Gie meninggal di Gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut. Hilangnya catatan inilah yang memunculkan dugaan bahwa dia sengaja dihilangkan oleg rezim yang baru berkuasa saat itu.
Buku hariannya diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983). Skripsi sarjana mudanya tentang Sarekat Islam Semarang, pada tahun 1999 juga diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Selain itu, tulisannya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997). John Maxwell juga menulis biografi Soe Hok Gie dengan judul Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesian Intellectual (Australian National University, 1997). Pada tahun 2005, catatan hariannya menjadi dasar bagi film yang disutradarai Riri Riza, Gie, dengan Nicholas Saputra berperan sebagai Hok Gie. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.
24 Desember 1969, Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.
“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
“Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan.”
“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”
“Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.”
“Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?”
“Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.”
“Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran.”
“Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi "manusia-manusia yang biasa". Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.”
“Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.”
“Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.”
“Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis…”
“Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.”
“Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita.”
“Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia.”
“To be a human is to be destroyed.”
“I’m not an idealist anymore, I’m a bitter realist.”
“Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata.”
“Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasai saya. Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya.”
“Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.”
“Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah”
Referensi: kolom-biografi.blogspot.com,dll.
Soe Hok Gie, lahir di Djakarta, 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An, anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, serta adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Karakter Gie adalah seorang pemuda yang berkarakter teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin menuliskan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Catatan harian Gie, biasanya berisi pikiran-pikiran tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta, dan juga kematian. Dalam buku catatan hariannya, Gie pernah memutuskan bahwa akan bertahan dengan prinsip-prinsipnya, ”Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.”
Jenjang pendidikannya adalah sesudah lulus SD, Gie melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama Strada di daerah Gambir (Konon ketika itu, Gie pernah mendapat salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora,” yang termasuk langka pada saat itu dan tulisan Andre Gide: seorang komunis yang membelot setelah melihat situasi yang menyedihkan di Uni-Soviet). Sejak masih sekolah, Gie memang sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta, bahkan kabarnya, sejak masih duduk di Sekolah Dasar, Gie sudah membaca karya-karya sastra yang serius, Pramoedya Ananta Toer. Hobinya gemar membaca satra ini bisa muncul dikarenakan Ayahnya juga seorang penulis dan novelis.
Pada waktu kelas dua di SMP, prestasi Soe Hok Gie buruk dan tak naik kelas. Namun, Gie tidak mau mengulang karena Gurunya yang tidak adil. Dalam sebuah scene film yang didasarkan pada buku hariannya, Gie pernah berdebat dengan Gurunya tentang Chairil Anwar itu plagiat atau pencipta, menurut Gie, Chairil adalah plagiat karena pengetahuannya banyak membaca. Semenjak itu, perseteruan dengan Gurunya terus terjadi. Berikut ini adalah kata-kata dari Gie yang paling popular ketika itu, yaitu:
“Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.”
Seiring waktu, Gie lebih memilih pindah sekolah dari pada tak naik kelas. Sebuah sekolah Kristen mengizinkan Gie masuk ke kelas tiga. Selepas dari SMP, Gie masuk ke Sekolah Menengan Atas di Kolese Kanisius, jurusan Sastra. Di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Di SMA inilah awal tulisan Gie yang mulai tajam dan penuh kritik. Setelah berhasil lulus, Gie melanjutkan pendidikan ke Universitas Indonesia dan memilih Fakultas Sastra, jurusan Sejarah.
Ketika mahasiswa, Gie adalah salah seorang aktivis, sekaligus mahasiswa dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jurusan Sejarah. Ia suka menulis, di antaranya puisi yang berjudul Sebuah Tanya dan beberapa puisinya yang tak memiliki judul. Beberapa artikelnya pun sering dimuat di media massa. Ia penulis yang produktif di beberapa koran, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 tulisan artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
Sejarah mencatat, Gie mempunyai andil besar dalam tumbangnya rezim Pemerintahan Orde Lama. Untuk mendukung perlawanannya, Gie sempat bergabung sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.
Karena berkarakter teguh dalam memegang prinsipnya, Gie juga pernah sangat kecewa dengan sikap teman-teman se-Angkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah, kemudian setelah lulus berpihak ke rezim Orde Baru yang militeristik tak berbeda dengan rezim sebelumnya. Gie beranggapan bahwa mereka telah lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66 saat duduk di parlemen. Atas sikap teman-temannya itu, Gie bersikap oposisif dan memang sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya. Gie mengganggap rekan-rekan se-Angkatannya sedang berhias memakai gincu dan bedak.
Di sisi lain, Gie ikut mendirikan Mapala UI yang berkegiatan naik gunung. Saat memimpin pendakian Gunung Slamet, Gie pernah mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth.” Gie dengan kawan-kawannya juga pernah menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m.
Kehidupannya menjadi agak berbeda setelah terjadi peristiwa G30S dan Orde Baru mulai berkuasa. Gie banyak menyaksikan kejadian-kejadian di sekitarnya yang begitu kejam, yaitu pembersihan orang-orang di parlemen dan Pemerintahan yang anti-Orde Baru dan berbau Soekarnois atau Komunis. Dia pernah menulis tentang pembantaian orang PKI di salah satu pesisir Bali. Semenjak artikelnya muncul di koran, Gie banyak mendapatkan terror, bahkn dituduh sebagai orang Komunis. Salah satu teman Gie kecil, yaitu Kain Fong menjadi salah satu korban dari pembersihan orang-orang Komunis ketika itu. Di masyarakat bawah, orang-orang begitu saling mencurigai satu sama lain dan beberapa kelompok masyarakat mengejar dan membunuh orang-orang yang diduga Komunis seperti memburu babi hutan.
Bahkan, 8 Desember sebelum berangkat ke Semeru, Gie sempat menuliskan catatannya yang terasa sudah firasatnya akan terjadi suatu hal yang buruk : “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”
Gie meninggal di Gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut. Hilangnya catatan inilah yang memunculkan dugaan bahwa dia sengaja dihilangkan oleg rezim yang baru berkuasa saat itu.
Buku hariannya diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983). Skripsi sarjana mudanya tentang Sarekat Islam Semarang, pada tahun 1999 juga diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Selain itu, tulisannya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997). John Maxwell juga menulis biografi Soe Hok Gie dengan judul Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesian Intellectual (Australian National University, 1997). Pada tahun 2005, catatan hariannya menjadi dasar bagi film yang disutradarai Riri Riza, Gie, dengan Nicholas Saputra berperan sebagai Hok Gie. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.
24 Desember 1969, Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.
# Ungkapan-ungkapan Gie yang Populer
“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
“Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan.”
“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”
“Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.”
“Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?”
“Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.”
“Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran.”
“Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi "manusia-manusia yang biasa". Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.”
“Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.”
“Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.”
“Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis…”
“Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.”
“Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita.”
“Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia.”
“To be a human is to be destroyed.”
“I’m not an idealist anymore, I’m a bitter realist.”
“Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata.”
“Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasai saya. Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya.”
“Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.”
“Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah”
****
Referensi: kolom-biografi.blogspot.com,dll.
No comments:
Post a Comment