Sunday, 10 April 2011

Catatan Masa Kuliah, Teori Evolusi Habermas

Teori Evolusi Sosial

Teori evolusi sosial, menurut Habermas, terbentuk melalui proses belajar masyarakat atau proses rasionalisasi menuju terbentuk masyarakat komunikatif. Habermas mengungkapkan bahwa evolusi sosial berlangsung melalui proses belajar masyarakat (social learning process) yang memungkinkan terjadi transformasi sosial. Ketika menggunakan istilah “ rasional ” kita mengandaikan adanya suatu hubungan erat antara rasionalitas dan pengetahuan. Pengetahuan kita memiliki struktur proposional; apa yang diyakini dapat direpresentasikan dalam bentuk pernyataan. Saya akan memakai konsep pengetahuan ini tanpa klarifikasi lebih lanjut, karena rasionalitas lebih berhubungan dengan bagaimana subjek yang berbicara dan bertindak, memperoleh dan mempergunakan pengetahuan ketimbang dengan kepemilikan pengetahuan (Habermas, 1981: 10).

Proses belajar masyarakat terjadi dalam dua dimensi: pertama, dimensi kognitif-teknis dan kedua, dimensi moral praktis. Dimensi kognitif-teknis akan membawakan penguasaan alam yang lebih besar dan peningkatan produktivitas kerja, sedangkan dimensi moral-teknis membawakan proses-proses belajar komunikatif yang menghasilkan perbaikan-perbaikan kualitas komunikatif dari relasi-relasi di antara manusia (Santoso,2003:249). Menurut Habermas, kedua macam proses belajar ini ditandai oleh logika tersendiri, artinya kemajuan dalam penguasaan alam tidak secara otomatis membawakan kemajuan di bidang relasi-relasi komunikatif, dan sebaliknya (Bertens, 2002:249). Kedua dimensi tersebut harus mendapatkan perhatian seimbang, tidak dapat direduksikan satu sama lain (Hardiman,1993:115).

Proses-proses belajar masyarakat itu hanya dapat dimungkinkan berjalan bila prasyarat-prasyarat yang diperlukan dapat terpenuhi. Prasayarat tesebut adalah tersedianya kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan manusia untuk berbincang secara komunikatif. Menurut Habermas, mengacu pada terciptanya suatu suasana berbincang yang membuka peluang bagi masing-masing individu yang terlibat di dalamnya untuk mengajukan pendapat, kepentingan, dan kekhawatirannya tanpa ada tekanan (Ankersmit,1987:34).

Hubungan yang terjadi di sini adalah hubungan antara pihak-pihak yang mempunyai kedudukan sama dan bukan hubungan kekuasaan. Hal ini dapat terjadi apabila masing-masing pihak saling mengakui kebebasan lawan dialognya dan saling percaya. Keadaan inilah yang disebut dengan perbicangan rasional dalam komunikasi tanpa penguasaan (Santoso, 2003:237).

Proses belajar atau rasionalisasi merupakan faktor utama yang menjadi pendorong bagi berlangsungnya evolusi sosial. Peran individu-individu dalam proses belajar masyarakat mempunyai arti yang sangat penting. Karena justru proses belajar masyarakat tergantung pada kompetensi individu-individulah yang mempunyai peran penting dalam perubahan masyarakat. Tanpa kemauan individu untuk berubah, maka masyarakat tidak akan berubah (Santoso, 2003:237).

Teori evolusi sosial Habermas mengurai sistem sosial atas paradigma ganda, yaitu paradigma ‘dunia kehidupan’ dan paradigma ‘sistem’. Sistem sosial sebagai dunia kehidupan dipahami sebagai sebuah dunia yang dihayati oleh para anggotanya yang terstruktur secara simbolis. Unsur-unsur itu meliputi struktur-struktur normatif dalam bentuk nilai-nilai dan institusi-institusi sebuah masyarakat. Adapun sistem sosial sebagai sebuah sistem lebih berkaitan dengan pengendalian sistem sosial tersebut. Caranya adalah dengan mengatasi berbagai masalah dari lingkungan yang berubah-ubah. Unsur-unsur sistem meliputi mekanisme pengendalian dan perluasan kemungkinan-kemungkinan perkembangan. Berkaitan dengan teori evolusi sosialnya ini, Habermas memandang bahwa kekuatan-kekuatan perubahan masyarakat secara historis terletak pada relasi-relasi yang berkembang antara perubahan-perubahan dalam dunia kehidupan dan perubahan dalam sistem (Ankersmit, 1987:117).

Rasionalisasi Habermas terdapat dalam paradigma komunikasi, yaitu hubungan antarmanusia yang sama-sama berkedudukan berkedudukan sebagai subyek (sifat dialogal), sehingga terjadi pola ‘komunikasi emansipatoris’ (Santoso, 2003:238-239). Paradigma kerja oleh Habermas diganti dengan ‘paradigma komunikasi’. Implikasinya adalah praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog komunikatif dan tindakan-tindakan komunikatif akan menghasilkan pencerahan (Hardiman,1993:83).

Proses rasionalisasi sebagai motor evolusi sosial ini dapat terjadi jika terdapat keadaan yang disebut oleh Habermas adalah perbincangan rasional dalam komunikasi tanpa penguasaan. Perbincangan rasional dalam komunikasi tanpa penguasaan adalah kondisi-kondisi yang memungkinkan manusia untuk berbincang secara komunikatif, yang menurut Habermas mengacu pada terciptanya suatu suasana berbincang yang membuka peluang bagi masing-masing individu yang terlibat di dalamnya untuk mengajukan pendapat, kepentingan, dan kekhawatirannya tanpa ada tekanan. Hubungan yang terjadi di sini adalah hubungan antara pihak-pihak yang mempunyai kedudukan sama dan bukan kedudukan kekuasaan. Hal ini dapat terjadi apabila masing-masing pihak saling mengakui kebebasan lawan dialognya dan saling percaya (Santoso, 2003:237).

Strategi Habermas untuk menjalankan proses belajar masyarakat atau rasionalisasi dalam dimensi moral-teknis, yaitu dengan mengajukan konsep tindakan komunikatif. Rasionalitas yang melekat pada praktik komunikatif menjangkau spektrum yang lebih luas. Rasionalitas ini mengacu berbagai bentuk argumentasi sebagai kemungkinan untuk meneruskan tindakan komunikatif dengan cara-cara reflektif (Habermas, 1981: 12).

Dengan mengeluarkan pernyataan atau melakukan tindakan, keduanya mengajukan klaim atau ekspresi simbolis. Klaim yang dapat dikritik dan dapat diperdebatkan, yaitu klaim yang berdasar. Refleksi itu ingin mendasarkan rasionalitas ekspresi pada kemungkinannya untuk dikritik dan punya dasar: suatu ekspresi dapat dikatakan memenuhi prasyarat rasionalitas jika dan selama dia mengandung pengetahuan bisa salah dan punya kaitan dengan dunia objektif (hubungan dengan fakta) serta terbuka terhadap penilaian objektif. Suatu penilaian dapat bersifat objektif jika dilakukan berdasarkan klaim validitas yang trans-subjektif yang memiliki arti sama bagi pengamat atau nonpartisipan (pihak luar yang tidak terlibat) sebagaimana bagi subjek yang bertindak itu sendiri. Kebenaran adalah contoh klaim yang valid ini (Habermas, 1981:12).

Sementara konsep tindakan komunikatif mengacu pada interaksi dari paling tidak dua orang subjek yang mampu berbicara dan bertindak membangun hubungan antar personal (apakah dengan cara verbal ataukan ekstra verbal). Aktor berusaha mencapai pemahaman tentang situasi tindakan dan rencana bertindak untuk mengoordinasikan tindakan mereka melalui kesepakatan. Konsep interpretasi merujuk pada tawar-menawar tentang definisi situasi yang memungkinkan terjadi konsensus. Bahasa sangat penting dalam model ini (Habermas, 1981: 110).

Habermas pun memiliki pengertian sendiri mengenai apa itu tindakan? Saya akan menggunakan istilah “tindakan” hanya untuk eskpresi-ekspresi simbolis yang dengannya aktor menciptakan hubungan paling tidak dengan satu dunia (sebagaimana juga dia selalu berhubungan dengan dunia objektif). Tentu saja, kita dapat membedakan gerak yang digunakan seorang subjek ketika melakukan intervensi ke dalam dunia (bertindak secara instrumental) yang darinya subjek melekatkan suatu makna (mengekspresikan diri secara komunikatif). Di kedua kasus, gerak badaniah menyebabkan suatau perubahan fisik di dunia; dalam kasus pertama dia memiliki relevansi secara kausal, dan pada kasus kedua, dia memiliki relevansi semantik. Contoh yang berasal dari gerak badaniah yang relevan secara semantik antara lain gerak kerongkongan, lidah, bibir, dll dalam pembentukan bunyi fonetik (Habermas, 1981: 125).

Bagi model tindakan komunikatif, bahasa hanya relevan dari sudut pandang pragmatis bahwa pembicara dalam menggunakan kalimat yang dimaksudkan untuk mencapai pemahaman, menciptakan hubungan dengan dunia, namun juga secara reflektif (Habermas, 1981: 128-129).

Pencapaian pemahaman hanya berfungsi sebagai mekanisme untuk mengoordinasikan tindakan ketika partisipan interaksi mencapai suatu kesepakatan terkait dengan klaim validitas terhadap tuturan yang mereka lakukan, yaitu dengan cara mengenali secara intersubjektif klaim validitas yang mereka ajukan secara timbal balik. Seorang pembicara mengajukan klaim yang dapat dikritik ketika mengaitkan ujaran ini paling tidak dengan satu “dunia”; dengan demikian dia menggunakan fakta bahwa relasi antara aktor dengan dunia pada dasarnya terbuka bagi pemahaman objektif dalam rangka mengajak orang-orang yang berseberangan dengannya untuk mengambil posisi yang didasarkan secara rasional (Habermas, 1981 : 129).

Konsep tindakan komunikatif mengandaikan bahasa sebagai media bagi tercapainya pemahaman, yang di dalamnya partisipan, ketika berhubungan dengan dunia, secara timbal balik mengajukan klaim validitas yang dapat diterima atau ditentang (Habermas, 1981 : 129).

Dengan model tindakan ini kita mengandaikan bahwa partisipan dalam interaksi kini dapat memobilisasi potensi rasionalitas-yang menurut analisis kita sebelumnya terdapat di dalam tiga bentuk relasi aktor dengan dunia yang diakukan secara ekspresif dengan mencapai pemahaman secara kooperatif. Jika kita menerapkan kesempurnaan bentuk eskpresi simbolis yang digunakan kepada satu sisi, maka dalam hal ini seorang aktor yang diorientasikan ke arah pemahaman paling tidak harus mengemukakan tiga klaim validitas dengan tuturannya, antara lain :

1. Bahwa pernyataan yang dikemukakan benar (atau bahwa pengandaian-pengandaian ekstensial kandungan proporsional tersebut telah memadai),

2. Bahwa tindak-wicara (speech-act) benar berdasarkan konteks normatif yang ada (atau bahwa konteks normative yang dipenuhi sudah legitim dengan sendirinya),

3. Bahwa maksud atau manifes dari pembicara sama dengan yang diungkapkan.

Dengan demikian, klaim pembicara akan kebenaran pernyataan atau pengandaian ekstensialnya, akan ketepatan tindakan-tindakan yang diatur secara legitim serta konteks normatifnya, dan akan kejujuran dan ketulusan pengejawantahan subjektifnya. Di dalamnya kita dapat dengan mudah mengenali tiga bentuk relasi aktor dengan dunia yang diandaikan oleh para ilmuwan sosial, namun dalam konsep tindakan komunikatif relasi tersebut dilekatkan pada perspektif pembicara dan pendengar itu sendiri. Para aktorlah yang berusaha mencapai konsensus dan mengukurnya berdasarkan kebenaran, ketepatan, dan ketulusan, yakni berdasarkan “kesesuaian” dan “ketidakkesesuaian” antara tindak wicara (speech-act) , di satu sisi, dengan tiga dunia yang kepadanya aktor mengaitkan tuturannya, di sisi lain. Relasi semacam itu terjadi antara tuturan dengan :

1. Dunia objektif (sebgai totalitas entitas yang memungkinkan adanya pernyataan yang benar)

2. Dunia sosial (sebagai totalitas seluruh relasi antarpribadi yang diatur secara legitim)

3. Dunia Subjektif (sebagai totalitas pengalaman pembicara yang hanya dapat diakses olehnya)

Proses pencapaian pemahaman terjadi dengan latar belakang prapemahaman yang telah mengakar secara kultural. Secara keseluruhan pengetahuan yang melatar- belakangi ini tetap tidak bermasalah; hanya bagian stok pengetahuan yang digunakan dan ditematisasikan oleh para partisipan pada waktu tertentulah diuji (dianggap bermasalah). Sejauh definisi-situasi dinegoisasikan oleh partisipan itu sendiri, segmen tematik dunia-kehidupan ini siap menjadi pegangan dalam negoisasi dengan setiap definisi-situasi yang baru (Habermas, 1981 : 129-130). Habermas berkata, saya menggunakan istilah kebudayaan untuk mewakili stok pengetahun yang darinya partisipan komunikasi membekali diri mereka dalam berbgai interpretasi dalam rangka memperoleh pemahaman tentang suatu di dunia ini (Habermas, 1981 :189).

Stok pengetahuan memberi latar belakang keyakinan-keyakinan yang tak problematik, umum, terjamin; dari stok pengetahuan inilah konteks proses pencapaian pemahaman dapat terbentuk, proses di mana mereka yang terlibat menggunakan definisi situasi yang telah teruji ataupun menawarkan definisi situasi yang baru (Habermas, 1981:171).

Definisi-situasi membentuk suatu tatanan. Melalui tatanan ini, partisipan dalam komunikasi memadatkan elemen situasi tindakan kepada salah satu dari tiga dunia tersebut, kemudian melibatkan situasi tindakan aktual ke dalam dunia kehidupan yang belum ditafsirkan. Definisi–situasi pihak yang sepintas lalu berbeda dari definisinya sendiri, muncul sebagai masalah yang khas; karena di dalam proses penafsiran kooperatif tidak ada partisipan yang memonopoli penafsiran yang benar. Bagi kedua belah pihak, tugas interpretif terletak pada proses melibatkan tafsiran orang lain tentang situasi ke dalam interpretasinya sendiri sedemikian rupa sehingga versi revisi dunia eksternal ”nya” dan dunia eksternal “saya” dapat-berdasarkan latar belakang dunia-kehidupan “kita” direlatifkan dalam kaitan dengan dunia “tersebut,” dan definisi-situasi yang berlainan dapat dipersatukan (Habermas, 1981: 130-131).

Situasi tidak “didefinisikan” secara kaku. Definisi-definisi tersebut selalu memiliki cakrawala yang berubah seiring dengan temanya. Situasi adalah segmen konteks relevansi dengan dunia kehidupan yang dipahatkan oleh tema (Habermas, 1981: 167). Situasi mempresentasikan segmen dunia-kehidupan yang terbatas dalam kaitannya dengan tema. Sementara, tema berhubungan paling tidak dengan kepentingan dan tujuan seorang partisipan; tema ini membatasi wilayah elemen-elemen situasi yang dapat ditematisasi, dan dia juga diaksentuasi oleh rencana yang dibuat para partisipan berdasarkan interpretasi atas situasi tersebut dalam rangka mewujudkan tujuan-tujuan mereka (Habermas, 1981:174).

Untuk menghindari kesalahpahaman saya akan mengulangi bahwa model tindakan komunikatif tidak menyamakan tindakan dengan komunikasi. Bahasa adalah sarana komunikasi dalam mencapai pemahaman timbal balik, sementara aktor yang berusaha mencapai pemahaman satu sama lain agar bisa menata tindakan-tindakan mereka, mengejar tujuan-tujuan tertentu (Habermas, 1981: 131).

Dalam kasus tindakan komunikatif, upaya interpretif menjadi dasar proses interpretasi kooperatif merepresentasikan mekanisme pengoordinasian tindakan; tindakan komunikatif tidak diluluhkan oleh upaya mencapai pemahaman secara interpretatif. Namun, tindakan komunikatif mengacu pada tipe interaksi yang dikoordinasikan melalui tindak-berwicara (speech-act) dan tidak berlangsung serentak dengannya (Habermas, 1981: 132). Akhirnya, tindakan komunikatif tergantung pada konteks situasional, yang pada gilirannya mempresentasikan segmen dunia-kehidupan partisipan di dalam interaksi (Habermas, 1981:342). Hal ini berarti dunia-kehidupan sebagai konteks tindakan komunikatif dan kesadaran kolektif (Habermas, 1981: 173).

Dunia-kehidupan, singkat kata, adalah kawasan transendental tempat bertemunya pembicara dan pendengar, tempat mereka dapat saling mengajukan klaim bahwa ucapan mereka cocok dengan dunia yang ada (objektif, sosial, atau subjektif), dan tempat mereka dapat mengkritik dan mengukuhkan kevalidan klaim tersebut,mengemukakan ketidaksetujuan, dan mencapai kesepakatan (Habermas, 1981: 172). Dunia-kehidupan membentuk konteks tidak langsung dari apa yang dikatakan, dibahas, dan dibicarakan dalam situasi yang ada; tentu saja, secara prinsipiil hal ini dapat diakses dan dimasuki, namun dia tidak menjadi bagian dari wilayah relevansi situasi tindakan yang ditentukan secara tematis. Dunia-kehidupan adalah sesuatu yang hadir secara intuitif, yakni sesuatu yang hadir secara intuitif,yakni dalam pengertian sesuatu yang familiar dan transparan, dan pada saat yang sama juga merupakan jejaring pengandaian yang begitu luas dan tidak dapat diperhitungkan yang harus dipenuhi jika ucapan aktual ingin mengandung makna, artinya dapat dinilai valid atau tidak valid. Dunia-kehidupan diterima sebagai sesuatu apa adanya yang mengukuhkan diri pada keyakinan yang pada dasarnya dapat dikritik (Habermas, 1981:179).

Dalam perbincangan rasional terdapat argumen-argumen rasional yang berperan sebagai unsur emansipatoris. ‘Perbincangan rasional’ di mana argumen-argumen rasional berperan sebagai unsur emansipatoris (Hardiman, 1993:83). Argumen adalah cara di mana pengakuan intersubjektif atas klaim validitas seseorang pendukung yang dikemukakan secara hipotesis dapat dimunculkan dan opini yang timbul darinya kemudian berubah menjadi pengetahuan (Habermas,1981:32).

Selanjutnya, setelah tindakan komunikasi melalui perbincangan (diskursus). Akhirnya, argumen-argumen yang rasional ini kemudian disepakati atau menjadi konsesus sosial. Mencapai sebuah kesepahaman berarti bahwa para partisipan dalam komunikasi mencapai kesepakatan terkait dengan validitas ucapan; kesepakatan adalah pengakuan intersubjektif atas klaim validitas yang dikemukakan pembicara. Konsensus tidak akan tercipta manakala, misalnya, pendengar menerima kebenaran penyataan namun pada saat yang sama meragukan kejujuran pembicara atau kesesuaian ucapannya dengan norma. Jadi, aturan yang berlaku dalam tindakan komunikatif adalah bahwa ketika pendengar menyetujui satu klaim validitas, secara implisit dia juga mengakui dua kaim validitas yang lain, karena kalau tidak demikian, berarti dia mengungkapkan ketidak setujuannya (Habermas, 1981: 164-165). Maka, konsensus adalah penerimaan pendengar terhadap kebenaran pernyataan, kejujuran pembicara, dan kesesuaian dengan norma. Akibatnya, konsesnsus itu sebagai langkah untuk transformasi atau evolusi sosial.

Konsep tindakan komunikatif memilih dua aspek dari sekian banyak aspek perihal penataan situasi : aspek teleologis yang terdapat pada perealisasian tujuan seseorang (atau dalam proses penerapan rencana tindakannya) dan aspek komunikatif yang terdapat pada interpretasi atas situasi dan tercapainya kesepakatan (Habermas, 1981: 173). Aspek teleologis adalah menyakini adanya relasi antara aktor dengan dunia keadaan yang terjadi. Dunia objektif didefinisikan sebgai totalitas keadaan yang terjadi dapat diciptakan atau terjadi atau diusahakan untuk terjadi lewat intervensi bertujuan (Habermas, 1981:111).



Daftar Pustaka
          
Ankersmit, F.R.1987. Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-Pendapat Modern Tentang Filsafat Sejarah, terj. Dick Hartoko. Jakarta. Gramedia.
         Bertens, K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer, Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia.
Habermas, Jurgen. 1981. Teori Tindakan Komunikatif, Buku Satu : Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat, terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Habermas, Jurgen. 1981. Teori Tindakan Komunikatif, Buku Dua : Kritik Atas Rasio Fungsionalis, terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.   
Hardiman, F. Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik, Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
Santoso, Listiyono. 2003. Epistomologi Kiri.Yogyakarta: Ar-ruzz Me

No comments:

Post a Comment