Sosok Bague Mantu Jassin adalah sosok yang sungguh berperan dalam kehidupan H.B Jassin untuk riwayat hidupnya. Dari Papanya (panggilan akrab H.B Jassin) inilah Jassin menjadi seseorang yang gemar membaca, menghargai buku, dan dokumen tertulis lainnya, dan menuangkan buah pikiran dalam bentuk karangan. Jassin lahir 31 Juli 1917, Gorontalo, Sulawesi Utara, Anak kedua dari enam bersaudara.
H.B Jassin
Bagi Jassin, Ayahnya Bague adalah seorang "avonturir", yaitu petualang, sebab beliau ini sering keluar-masuk kerja di perusahaan minyak Belanda, misal dari BPM Gorontalo ke BPM Balikpapan hingga ke BPM Pangkalan Brandan, Sumatera Utara. Bahkan, di tengah masa depresi 1929, Papanya ini keluar dari BPM untuk kembali ke Gorontalo untuk menjadi pedagang keliling mesin jahit ke daerah-daerah hingga Poso dan Tomini. Kemampuan Papanya yang memiliki bahasa Belanda yang bagus ini diperoleh dari Kakek Jassin yang merupakan seorang otodidak, seorang pedagang kopra yang cukup sukses hingga mampu membiayai Papanya untuk kursus privat anaknya. Dengan bahasa Belanda yang fasih, Papanya belajar sejarah dan ilmu bumi hingga karena ketekunannya dapat diterima di BPM."Ayah adalah seorang kerani di BPM yang punya penghasilan cukup untuk menghidupi kami sekeluarga secara layak,"kenang Jassin tentang Papanya.
Ayah Jassin, yang secara akrab ia pangil "Papa" sangat gemar membaca. Di rumahnya, ia mempunyai perpustakaan pribadi.
"Papa selalu rajin membaca siang dan malam. Dia mempunyai perpustakaan sendiri, walaupun juga Papa meminjam dari pepustakaan umum. Sayalah yang selalu disuruh untuk meminjam dan mengembalikan buku," kenang Jassin.
"Ayah punya kebiasaan tertentu, yaitu membaca, yang kemudian ternyata sangat mempengaruhi jalan hidup saya," ingat Jassin kepada Papanya.
Kebiasaan inilah yang diakui sangat berkesan bagi Jassin, meskipun Papanya yang bekerja sebagai pegawai adminitrasi BPM (Bataafsche Petroleum Maatscappij) sangat keras, tapi ia tak pernah memukul anaknya.
Jika sore hari, Jassin sering diminta Papanya untuk membacakan koran berbahasa Belanda dengan suara keras, Sambil bersantai, Papanya duduk di kursi seraya mendengar dan kalau ada yang salah, Papanya akan membetulkan.
Dari pengaruh Papanya ini, kegairahan membaca Jassin tumbuh pesat, bahkan buku-buku yang umumnya untuk orang dewasa, ia juga baca.
"Akibatnya saya selalu membaca berbagai buku Ayah, walaupun sebagian besar saya tidak mengerti karena semua buku Ayah untuk konsumsi orang dewasa. Sering juga saya terpaksa membaca secara sembunyi-sembunyi karena dilarang oleh Ayah. Bila tidak sempat membaca, sedikitnya saya suka melihat gambar-gambar dan foto-fotonya, serta membaca kekterangan gambarnya,"tutur Jassin tentang masa kecilnya.
"Kalau saya duduk diperpustakaan, rasanya dunia demikian luas terbentang di hadapan saya," ucapnya yang membuktikan ia begitu senang dengan buku.
Contoh lain, watak keras Papanya kepada Jassin adalah di rumah, beliau ini selalu menuntut anak laki-lakinya untuk selalu rajin membaca, sampai terkadang Jassin tak sempat bermain dengan teman-teman sebayanya. Watak keras Papanya ini sering membuat Jassin takut, sebab setiap kali terlihat sedang bermain di luar rumah, ia di suruh masuk untuk membaca buku.
"Ayah sangat keras. Tidak boleh saya kelihatan bermain-main. Sebagai anak, tentu saya ingin juga bermain ke pantai. Ibu meluluskan. Ibu meludah ke pasir dan bilang,'Kamu harus pulang sebelum ludah kering. Nanti Ayahmu marah pula' bayangkan hanya beberapa menit saya boleh bermain,"kenang Jassin, "Tapi saya suka,"ungkap Jassin mengakui. Jassin kecil memang tak suka ikut ramai-ramai bersama teman-temannya main bola. Kalaupun ikut, ia tidak terjun bermain, tetapi hanya menonton dari bawah pohon sambil mengamati teman-temannya.
"Rupanya dari dulu saya suka mengamati, tidak bermain sendiri. Dalam sastra, saya lebih banyak mengamati dan mengulas karya daripada membuat sendiri,"katanya. Perilaku inilah yang membuat Jassin terlatih menganalisis suatu karya daripada membuat karya, "Saya rasa memang itulah dunia saya,"katanya.
Selain itu, Jassin mengakui, "Saya anak manis.Berkelahi atau kenakalan lain, saya tidak melakukannya."
Ketika kecil, Jassin pernah sakit, lalu Papanya ini bertanya,"Mau dibelikan apa?", Jassin menjawab,"Buku". Perhatian besar terhadap buku yang ditularkan Papanya inilah yang membuat Jassin begitu mencintai buku, sampai ia tidak mau ada buku-bukunya yang sobek dan rusak.
Jassin tak pernah menyesal mempunyai Papa dengan watak keras yang selalu menimbulkan rasa takut di dalam dirinya, "Kalau saya lihat dari pandangan saya sekarang, saya berbahagia punya ayah yang keras dan ibu yang lembut." Jassin sangat memberi penilaian yang berbeda terhadap Ibunya,"Saya sayang sekali pada Ibu. Pada Ayah selalu timbul rasa takut." Ibunya ini bernama Habibah Maudi Jau, "Ibu bukanlah seorang 'pekerja wanita' seperti yang banyak muncul dewasa ini, melainkan seorang ibu rumah tangga seratus persen,"tutur Jassin.
Saat di HIS, pelajaran mengarang adalah kesukaan Jassin kecil. Jika ada tugas mengarang, nilai yang diperoleh berkisar 8 atau 9. Ia pernah begitu tertarik pada cerita dari seorang Gurunya yang Belanda, yaitu M.A Duisterhof. Dari gurunya inilah ia mendengar roman Saijah dan Adinda dan Max Havelaar, kemudian pada suatu saat, buku tersebut diterjemahkan oleh Jassin hingga mendapat penghargaan Hadiah Martinus Nijhooff dari Pangeran Benhard.
Hobi lain dari Jassin saat kecil adalah menyimpan buku-buku atau catatan sekolahnya di HIS sampai ketika kuliah di UI dan masih tersimpan dengan baik, mungkin hingga sekarang, "Karangan-karangan yang ditugaskan di kelas pun masih terseimpan baik hingga sekarang,"ucapnya. Suatu kali, ia pernah sangat menyesal karena harus menjual lima eksemplar bukunya karena kesulitan uang, "Ternyata buku-buku tersebut tak dapat lagi saya peroleh hingga sekarang. Menyesal sekali, tetapi apa mau dikata,"kenangnya.
"Saya dari dulu memang suka menyimpan koleksi. Maka dari itu, buku-buku pelajaran saya sejak masa sekolah, termasuk beberapa surat responden Papa, masih saya simpan sampai sekarang,"jelas Jassin.
Sejak tahun 1940, Jassin mulai mendokumentasikan karya-karya sastra,"Lama-kelamaan dokumentasi menjadi hobby. Kemudian ternyata merupakan kegiatan sehari-hari, sudah merupakan nafas saya,"katanya suatu kali. Dokumentasinya pun sering digunakan oleh mahasiswa lain, "Tanpa dokumentasi sastra H.B Jassin, mereka tidak akan berhasil secepat yang telah mereka lakukan,"ungkapnya.
Tentang karya sastra, Jassin pernah berpendapat,"Karya sastra akan selalu menarik perhatian karena mengungkapkan penghayatan manusia yang paling dalam dari perjalanan hidupnya di segala zaman dan di segala tempat di dunia ini." Menurutnya, karena peranan sastra sangat penting, pendokumentasian di segala zaman mutlak dilakukan.
Dari hobi gemar mendokumentasikan di saat muda inilah yang memunculkan sebuah ide atau gagasan, mengapa sebuah dokumentasi itu sangat diperlukan. Gagasan ini pernah diungkapkan ketika menerima Honoris Causa dari Fakultas Sastra UI pada tahun 1975. Ketika itu, Jassin mengatakan,"Kita harus pandai-pandai menyimpan hasil kebudayaan kita, hasil-hasil kesusatraan kita. Untuk itulah kita mempunyai museum, perpustakaan-perpustakaan, pusat arsip dan dokumentasi. Di sinilah kita harus menyimpan segala apa yang pernah dipikirkan, dirasakan, dan dikerjakan oleh bangsa kita dalam perjalanan hidupnya sebagai manusia berpikir, merasa, dan berkarya. Menyiakan-nyiakan hasil karya kita berarti menyia-nyiakan kehidupan kita, sejarah kita, masa silam, masa sekarang, masa depan kita."
Dari keyakinan itulah H.B Jassin ingin mendirikan sebuah Pusat Dokumentasi Sastra (PDS), sebab baginya dokumentasi itu sangat penting karena daya ingat manusia itu terbatas, "Dokumentasi dapat memperpanjang ingatan, "katanya. Dari dokumetasinya, Jassin pernah berhasil menyusun beberapa buku,"Saya menulis berbagai karangan berdasarkan dokumentasi tersebut. Bahkan saya berhasil menyusun beberapa buku."
Bagi Jassin, "Imajinasi lebih daripada gagasan; ia adalah keseluruhan kombinasi dari gagasan-gagasan, perasaan-perasaan, kenangan pengalaman, dan intuisi manusia." Bahkan, suatu kali ia pernah khawatir,"Dalam pekerjaan saya selama ini ada semacam kekhawatiran bahwa saya akan menjadi ilmiah, dalam arti hanya bekerja dengan otak, padahal kesusastraan adalah suara hati."Lalu, ia menyatakan lagi, " Hasil karya yang hanya mengandung intelek melulu, adalah kering, tak hidup."
Berdasar kecintaan dan komitmen yang besar terhadap sastra, Jassin secara nyata menuangkannya dalam karya-karya monumentalnya dan terbangunnya PDS H.B Jassin yang merupakan terbesar di Asia Tenggara. Sebelum mendapat bantuan dari Pemda DKI, Jassin sring mengusahakan sendiri pengadaan dokumentasinya, padahal domumentasi itu dimanfaatkan oleh siapa saja yang membutuhkannya. Berdiri di pinggir jalan sambil membuka-buka halaman surat guna mencari artikel-artikel untuk didokumentasikan sudah biasa ia lakukan sejak tahun 1960-an.
Jassin pernah diusir dari Lembaga Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan karena terlibat penandatanganan Manikebu era PKI tahun 1963-an. Seluruh dokumentasinya, ia harus angkut sendiri rumahnya tanpa seorang pun yang membantu,"Yang lebih menyedihkan adalah bahwa seluruh dokumentasi yang saya kerjakan lebih dari 10 tahun di Lembaga Bahasa disuruh angkut seluruhnya. Sendirian saya mengangkutnya dengan becak,"kenangnya.
Krisis dana, sesungguhnya tak hanya terjadi pada tahun 2011 saja, sebab pada tahun 1977 lembaga ini pernah mengalami kesulitan dana hingga Pemerintah Malaysia pernah mengajukan tawaran 2 juta Dollar AS untuk membeli seluruh dokumentasi milik PDS. Untungnya, tawaran ini tak pernah diterima, sebab bila itu terjadi, apa jadinya dunia Sastra Indonesia saat ini. Tak bisa dibayangkan.
PDS H.B Jassin
Karena sebagai kritikus di dunia sastra, otoritas Jassin sangat kuat dan berwibawa. Ada anggapan bahwa suatu karya sastra yang diulas atau dikritik oleh Jassin berarti telah diakui sehingga banyak sastrawan yang kecewa bila karyanya tidak pernah diulas Jassin. Untuk penutup, satu hal yang unik saat Jassin mengajar di UI adalah ia bukanlah komunikator yang baik. Jassin mengakui, ia selalu merasa kikuk jika harus berbicara dalam forum diskusi (buku ini rupanya mennyindir yang nulis nih), bahkan kuliah-kuliah di FS UI sehingga ia persiapkan terlebih dahulu secara tertulis, "Saya tak dapat mengajar tanpa persiapan menulis. Sering juga saya coba-coba membei kuliah tanpa teks, tetapi baru tiga atau lima menit, saya tak tahu lagi apa yang harus dibicarakan,"ungkapnya.
Beberapa penghargaan kepada Jassin:
- Gelar Paus Sastra (oleh Gayus Siagian), Wali Penjaga Sastra Indonesia (oleh Teuw), dan Penjaga Kubur Sastrawan (oleh Willy Hangguman).
- Satyalencana Kebudayaan (Depdikbud, tahun 1969)
- Anggota seumur hidup Akademi Jakarta (1970)
- Cultural Visit Award (Australia, 1972)
- Hadiah Martinus Nijhoff dari Pangeran Bernhard (Belanda, 1973)
- Doctor Honoris Causa (FS UI, 1975)
- Hadiah Seni (1983)'
- Hadiah Ramon Magsaysay (Filipina, 1987)
Sumber: Buku B.J Habibie, Sumitro Djojohadikusumo, dan H.B Jassin Potret Kehidupan dan Kepribadian karya Dr. Dedi Supriadi, Penerbit Lubuk Agung, Bandung, 1994.
No comments:
Post a Comment