1. Kierkegaard
Bagi Kierkegaard (filsuf asal Denmark), manusia yang konkret dan nyata adalah yang individual dan subyektif, bukan apa yang dipukul rata dan obyektif. Untuk menjalani eksistensinya, masing-masing manusia telah dilengkapi dengan subyektifitasnya (Fuad Hassan, 1993: 25). Menurutnya, manusia adalah pengambil keputusan dalam eksistensinya. Namun, apapun keputusan yang diambilnya, tak pernah mantap dan sempurna.
"Ya, sejak semula saya saya menyaksikan bahwa ada dua kemungkinan, seorang hanya bisa melakukan apakah ini ataukah itu,"kata Kierkegaard.
Baginya, manusia akan terus-menerus dihadapkan pada pilihan-pilihannya. Kalau seseorang telah menetapkan apa yang baik dan apa yang buruk, yaitu setelah ia memilih satu di antara keduanya, barulah putusan-putusannya menjadi bermakna. Tanpa pendirian yang tegas mengenai pilihan dasar ini, sebenarnya, ia tidak menjalani eksistensi yang ada artinya karena untuk membuat keputusan itu, manusia harus bebas. Artinya, ia harus mampu mempertanggungjawabkan dirinya. Karena kesediaannya bertanggung jawab ini, kebebasan manusia untuk memilih dan memutuskan menjadi bermakna. Setiap orang harus lebih dahulu menetapkan dirinya sendiri: siapa dia, lalu memutuskan ingin jadi apa dia, kemudian barulah ia bertindak sesuai dengan pilihannya yang menjadi keputusannya (Fuad Hassan, 1993:26). Taraf bermakna ini, bagi Kierkegaard baru mencapai taraf etis.
Menurut Kierkegaard, mengada sebagai manusia bukanlah sekedar suatu fakta, tetapi lebih dari itu. Eksistensi bagi manusia adalah tugas. Salah satu pesannya, eksistensi itu harus dijalani dengan kesejatian sehingga orang tidak tampil dengan kesemuan atau hanya mencapai taraf etis.
"...menjadi subyektif adalah tugas yang dihadapkan pada setiap manusia,"ucap Kierkegaard.
Untuk itulah, agar eksistensi manusia menjadi sejati, ia harus meningkatkan eksistensinya itu dari taraf etis ke taraf religius. Pada taraf religius ini, manusia tidak lagi menginginkan pengertian dan kesaksian dari sesama manusia. Ia hanya menghayati pertemuannya dengan Tuhan sebagai satu dialogi yang sejati. Kedekatan dengan Tuhan adalah penghayatan ekstensial. Tuhan sebagai kebenaran adalah subyektif.
Untuk itu, bagi Kierkegaard, eksistensi harus dihayati sebagai sesuatu yang etis dan religius.
Pernah ia berpendapat, "Gerombolan itu terdiri atas banyak perorangan, yang kekuatannya seharusnya terletak pada kemampuan masing-masing individu untuk tampil sebagaimana dirinya: sebagai individu dan tak ada seorang pun dihalangi untuk tampil sebagai individu, kecuali kalau ia menghalangi dirinya sendiri-dengan jalan menjadi undur suatu massa." Ia pernah menyerang pers karena keyakinannya ini, sebab pers membentuk pendapat umum yang pendapatnya ini anonim. Pers menciptakan massa yang belaka.
Kierkegaard
No comments:
Post a Comment