Nietszche (filsuf asal Jerman, Prusia) adalah seorang yang mengalami kegilaan pada akhir masa hidupnya. Saat akhir-akhir hidupnya, ia dikenal sebagai penderita Paranoia dan Megalomania, semacam penyakit kegilaan. Selama masa hidupnya, ia terus-menerus hidup dalam kemalangan, seorang yang lemah, sakitan, dan papa, bahkan ayahnya meninggal saat ia sangat membutuhkan bimbingannya. Oleh karena itu, pada usia 18 tahun, ia kehilangan kepercayaan terhadap Tuhan dan setelah dewasa telah "memusnahkan Tuhan" hingga menemukan sosok Zarathustra, yang seolah sebagai ganti Tuhan. Nietzsche adalah generasi yang begitu lain dengan Kierkegaard yang masih menganggap Tuhan itu ada.
Untuk mengenal ekstensialisme Nietsche, kita tidak bisa lepas dari karyanya yang dianggap besar, yaitu Dendang Zarathustra atau sering disebut Demikianlah Sabda Zarathustra. Karya ini ditulis Nietzsche saat pengasingannya di Puncak Pegununngan Alp, Sils Maria. Menurut, Walter Kaufman, seorang penafsir terkenal karya-karya Nietzshe, saat itu, ia sedang mengalami kesunyian dan kesendirian hingga kemudian diikuti keletihan mental. Dalam karyanya yang ini, Nietszche begitu melampiaskan segala isi jiwanya sehingga kita akan merasakan kemarahan yang dahsyat, kepekaan yang mesra, keberanian yang serba nekad, humor yang halus, dan penghayatan sebagai seorang manusia. Nietzsche memang mengalami kegagalan dalam pergaulannya dengan manusia sehingga ia mengasingkan diri dan membuatnya berhadapan dengan dirinya sendiri yang dijelmakan melalui citra Zarathustra. Karya besar ini sering disebut monologi.
Dalam karyanya, Zarathustra diceritakan pergi meninggalkan rumahnya, menuju ke pegunungan. Di kesunyiannya, ia merindukan manusia, lalu turunlah ia dari pengasingannya. Saat sampai di pasar, ia menjumpai orang banyak dan berserulah ia, "Aku ajarkan kepadamu manusia unggul. Dahulu dosa yang terbesar adalah melawan Tuhan, tetapi Tuhan sudah mati, dan bersama Dia, matilah pula mereka yang berdosa."
Ia terus mengulang ajarannya, "Jadilah manusia unggul, ibarat samudera luas yang tidak akan pernah luntur karena harus menampung air sungai yang keruh. Manusia harus terus-menerus melampaui dirinya sendiri, terus- menerus mencipta.
Lalu, berkatalah lagi, "Sudah tiba waktunya bagi manusia untuk menentukkan tujuan baginya sendiri. sudah tiba saatnya bagi manusia untuk menanam bibit harapannya yang seunggul-unggulnya."
Bagi Nietzsche, manusia harus tak henti-hentinya mencipta dan mencipta itu menjadi mungkin bila Tuhan sudah mati, sudah lama sekali mati.
"Kalau kau ingin menjulang tinggi, gunakan kakimu sendiri. Jangan biarkan dirimu dijunjung orang, jangan kau duduk di atas panggung dan kepala orang lain,"kata Nietzsche.
Untuk itulah Nietzsche menginginkan moral baru bagi jamannya, yaitu 'Herren-moral', yaitu moralitas orang-orang terhormat yang mampu berkuasa dan berani menatap hidup. Keberanian itu adalah keberanian menatap hidup, menghadap bahaya, menanggung derita, memeluk kesepian, menantang perang, menaklukan ketakutan, dan berani menyambut maut.
Amor Fati adalah slogan dari Nietzsche yang mencintai resiko karena sebuah keberanian,
"Semboyanku adalah Amor fati: ...tidak saja tabah menanggung segala keharusan (penderitaan), melainkan juga mencintainya.
Hiduplah menantang bahaya. Bangun kota-kotamu di kaki Vesuvius. Kirim kapal-kapalmu ke lautan-lautan yang belum dijelajahi. Hiduplah dalam keadaan perang."
Baginya, dalam kecintaannya serta keberaniannya menempuh hidupnya, manusia sepatutnya tidak mengharapkan belas kasihan orang lain.
Nietzsche
Bagi penulis, karya Nietzsche memang sungguh multitafsir. Banyak orang menganggap filsuf ini atheis atau anti_Tuhan. Itu sesungguhnyan kurang tepat, sebab Nietzsche hanya menginginkan agar manusia menjadi mahkluk mandiri, menjadi dirinya-sendiri, dan mengandalkan kekuatannnya sendiri. Dunia ini, bagi Nietzsche, seperti medan perang sehingga setiap manusia harus menjadi manusia unggul (ubermensch) agar dapat menaklukkannnya. Sesungguhnya, dalam kehidupan ini, manusialah yang menentukkan dirinya-sendiri, pilihannya, keputusannya, dan menentukkan tujuannya sendiri dengan kedua kakinya sendiri. Untuk mewujudkan hal tersebut, manusia harus berani untuk segala resiko yang akan dihadapi. Inilah hidup yang harus dihadapi dengan berani. Untuk itulah manusia harus melampui dirinya sendiri dengan terus mencipta berdasarkan kemampuannya. Inilah barangkali sekilas tentang ekstensialisme dari Nietzsche.
No comments:
Post a Comment