"Sejak awal masa kanak-kanak, aku gandrung pada kebebasan"-Berdyaev
Berdyaev mulai menyaksikan ketidakadilan sosial dalam masyarakatnya dan baginya ketidakadilan sosial ini harus diatasi dengan suatu tinjauan yang menyeluruh tentang kehidupan soial umumnya.
Tahun 1894, ia kuliah hukum dan menyatakan diri sebagai seorang Marxis. Sejak saat itu, ia mempelajari ajaran Karl Marx dan mulai ikut kegiatan politik yang berhaluan Marxis. Akibatnya, ia pun mengalami pembuangan. Namun, rupanya, ia juga menemukan kelemahan dari ajaran ini, yaitu suatu filsafat sosial tidak bisa dibangun atas pikiran-pikiran yang berdasarkan materialisme belaka.
Biar bagaimanapun, cita-cita kebebasan yang digandrungi Berdyaev tidak bisa dipatahkan. Setahun setelah Revolusi Oktober, 1918, Berdyaev mendirikan sebuah badan Free Academy of Spiritual Culture. Badan ini tak lain adalah usaha untuk menyebarkan pikiran-pikirannya tentang kebebasan. Awalnya lembaga ini didukung pemerintah dan berstatus setengah resmi, tetapi karena kritik juga mengarah ke pemerintah, dukungan itu dicabut.
Perang Dunia I dan Revolusi Oktober merupakan dua peristiwa yang sangat berkesan bagi Berdyaev. Baginya, peristiwa itu memperkosa dan sungguh merampas kebebasan."Revolusi adalah kegilaan, suatu obsesi yang menyerang kepribadian, melumpuhkan kebebasannya, dan menundukkan sepenuhnya pada suatu kekuatan yang impersonal, serta tak berperikemanusiaan," kritiknya mengenai revolusi.
"Sudah menjadi kodrat revolusi untuk membawa kita kepada teror dan teror adalah hilangnya kebebasan, hilangnya kebebasan setiap orang, dan hilangnya kebebasan semua. Pada mulanya, suatu revolusi adalah murni dan tunggal cita-citanya. Revolusi mengumandangkan kebebasan, tetapi bilamana kekuatan-kekuatan yang immanen berkembang dengan daya dialektika yang terjadi di dalamnya maka kebebasan niscaya hilang dan mulailah teror berkuasa," katanya lagi tentang revolusi, terasa sedikit menyindir negaranya, Rusia.
Untuk mengamankan kebebasannya, ia menetap dua tahun di Berlin, lalu pindah ke Prancis. Di Paris, ia mendapat pergaulan sesuai dengan minatnya mengenai filsafat tentang kebebasan, dekat dengan Jacques Maritain dan Gabriel Marcel. Di sini, dirinya juga bertemu dengan Bulgakov, teman lama yang juga meninggalkan Rusia.
Seluruh filsafat Berdyaev didasarkan pada antroposentrisme atau lebih tepat personalisme, mengacu dan berpusat pada manusia."Persoalan yang esensial dan fundamental adalah masalah manusia-pengetahuannya, kebebasannya, daya-ciptanya. Manusia adalah kunci misteri pengetahuan,"ucapnya.
Baginya, manusia tidak semestinya dihampiri sebagai suatu konsep belaka; manusia hanyalah dapat dipahami sebagai suatu pribadi yang hidup. Menurutnya, manusia adalah mahkluk kompleksbdan ditandai oleh dualisme dasar yang tak bisa disangkalnya, yaitu di satu sisi adalah mahkluk Tuhan dan di sisi lain adalah hasil dari alamnya."Di satu pihak manusia adalah spititual, sedangkan di lain pihak ia adalah alamiah maka dari itu, individu itu sekaligus berdifat spiritual dan alamiah,"kata Berdyaev.
Kedua segi itu selalu bertentangan. Sengketa itu membuat manusia ibarat medan sengketa yang tak selesai-selesai. Baginya, manusia sebagai mahkluk spiritual adalah bebas, sedangkan sebagai hasil alamiahnya, ia harus menghayati keharusan-keharusan. Keharusan-keharusan inilah yang membatasi kebebasan manusia.
Bagi Berdyaev, persoalannya adalah bagaimana manusia menghayati eksistensinya dalam kebebasan dan bagaimana mengatasi paradoks yang dihayati manusia agar ia mampu mencapai kebebasan eksistensi sebagai pribadi.
Berdyaev mencermati 4 hal, yaitu:
- Determinisme Alam adalah hukum yang mengenai manusia juga. Untuk bertahan hidup, manusia dihadapkan pada keharusan-keharusan yang dianut oleh alam demi kelanjutan hidupnya. Manusia tidak akan pernah lepas dari keharusan-keharusan ini.
- Kenyataan bahwa manusia hidup dengan manusia-manusia lain dan terwujud dalam masyarakat. Di sini, manusia mendapatkan kesempatan untuk memwujudkan dirinya melalui kehidupan bermasyarakat.Namun, bagi Berdyaev, kehidupan masyarakat itu selain memperkaya manusia juga memperbudaknya. Masyarakat bisa memperkaya manusia bila manusia itu sadar bahwa tujuan hidupnya bukanlah menjadi mahkluk sosial, melainkan menjadi mahkluk spritual. Menurut Berdyaev, masyarakat bukanlah organisme, melainkan manusia. "Tak pernah bisa menjadi bagian dari suatu masyarakat, sebab kepribadian itu tak pernah menjadi bagian dari apapun,"ucapnya. Dalam situasi paradoks itulah manusia menghayati kehidupan dalam masyarkatnya, sekaligus sebagai penderitaan karena membatasi kebebasannya.
- Penyebab kekangan terhadap kebebasan manusia adalah peradapan. Baginya, peradapan adalah keharusan-keharusan yang dituntut oleh alam. Peradapan adalah karya manusia sendiri untuk memenuhi tuntutan alamiah yang dihadapinya. Peradapan dimulai dengan penemuan manusia untuk membuat alat-alat yang bisa meringankan beban manusia dari bebannya menanggung tuntutan-tuntutan alam. "Kemajuan teknik tidak saja membuktikan kekuatan, serta daya manusia untuk menguasai alam; kemajuan teknik itu bukan saja membebaskan manusia, melainkan juga memperlemah, serta memperbudaknya; kemajuan itu memekanisasikan manusia dan menimbulkan gambaran penyamaan manusia sebagai mesin,"ungkapnya. Hal ini berarti bahwa manusia telah kehilangan kebebasan oleh ciptaannya sendiri, padahal tanpa kebebasan itu tak mungkin dibina suatu kebudayaan yang benar-benar memperkaya eksistensinya sebagai mahkluk spiritual.
- Penghayatan manusia tentang kesejarahan merupakan salah satu sebab timbulnya kemampuan untuk menghayati eksistensinya sebagai kebebasan. Sejarah memang ciptaan manusia. Kalau kesejarahan itu merupakan bukti kebebasan manusia, lalu bagaimana sejarah dapat menjelma sebagai salah satu hal yang mengikat manusia dan mengurangi kebebasannya? Jawabannya, sejarah menceritakan atau menafsirkan sesuatu yang lampau. Artinya, sejarah mempelajari masa lalu sebagai sesuatu yang objektif. Oleh karena perlakuannya yang obyektif terhadap masa lalu, maka sebenarnya sejarah tidak menghiraukan kepribadian sebagai subyektifitas. Ketidakacuhan terhadap pribadi-pribadi sebagai subyektifitas itu bisa menjadikan sejarah sebagai pentas obyektifikasi pribadi. Sejarah yang sedianya menunjukkan kebebasan manusia, oleh tanggapan yang salah, bisa menjadi sebab hilangnya kebebasannnya.
Ia tidak lupa untuk mengingatkan kita pada kata asal dari persona, yang berarti "kedok". Dengan tampil berkedok alias kepribadiannya, manusia menghayati eksistensinya sebagai tugas. Yang lebih penting ialah memahami bahwa, sebagai pribadi, manusia tidak bisa diperbandingkan satu dengan yang lainnya; masing-masing khas dalam ketunggalannya."Rahasia eksistensi kepribadian terletak pada kenyataannya bahwa ia tak mungkin diperhitungkan, ia hanya menjelma sekali saja, tunggal, dan tak mungkin diperbandingkan,"ungkapnya.
Untuk itu, Berdyaev memperingatkan bahaya obyektifikasi terhadap manusia. Ia menyaksikan bahwa kecenderungan untuk obyektifikasi ini tampaknya makin kuat dalam zaman modern ini.
Obyektifikasi ini berjalan sejajar dengan makin bertambahnya dehumanisasi yang diakibatkan oleh peradapan modern. Berkaitan dengan dehumanisasi, ia tidak melewatkan untuk menyerang dua paham yang menggejala di dunia, yaitu kapitalisme dan komunisme."Sistem kapitalis sedang menebar benih kehancuran sendiri karena ia menyadap dasar-dasar spritiual dari kehidupan ekonomi manusia,"ungkapnya.
"Kontradiksi dalam Marxisme juga terletak pada anggapannya bahwa alam kebebasan adalah hasil yang tak terelakkan dari keharusan. Hal ini secara mendasar berarti penolakkan terhadap kebebasan,"ungkapnya.
Berdyaev pernah menyaksikan bahwa komunisme, yang bermaksud menghapuskan kapitalisme sebagai bentuk penghisapan manusia-atas-manusia, akhirnya menjelma sebagai kapitalisme bentuk baru, yaitu kapitalisme negara. Kenyataannya, komunisme mengingkari kebebasan pribadi. Ia juga mengkritik tata negara modern yang tidak menghiraukan manusia sebagai eksistensi rpibadi yang bebas dan cenderung ke arah obyektifikasi."Negara adalah hantu yang paling berdarah dingin,"ucapnya.
Negara menyatakan diri berdaulat setelah mengurangi dan merampas kedaulatan pribadi. Selain itu, kolektivisme juga mengakibatkan suatu pusat eksistensi pribadi. Kolektivitas menguatkan anonimitas karena tidak mampu menjadikan manusia menghayati dirinya sebagai eksistensi yang bebas. Kolektivisme cenderung antipersonalisme. Menghadapi kenyataan ini, Berdyaev, rupa-rupanya tidak sampai merumuskan suatu sasaran yang konkret. Ia hanya mengatakan bahwa dalam menghayati kenyataan-kenyataan yang menghimpit eksistensi pribadinya yang bebas itu, setiap kali timbullah kecenderungan manusia untuk memberontak, yaitu usaha untuk menemukan kembali kebebasannya.
No comments:
Post a Comment