Thursday, 25 August 2011

Sebuah Eksistensi #4

4. Jaspers

Jaspers, filsuf kelahiran 23 Februari 1883, Oldenburg. Ia terangsang pada persoalan-persoalan yang timbul dalam usahanya mempelajari dan memahami kepribadian. 
"Apa yang esensial dalam keputusan konkret yang menyangkut nasib pribadi tetap akan tersembunyi,"katanya.
Terdorong oleh keinginan untuk lebih memahami apa yang tersembunyi dibalik keputusan-keputusan konkret yang bersifat pribadi itu, ia tiba pada dugaan bahwa hal itu ada hubungannya dengan kenyataan bahwa pandangan terhadap dunia ada bermacam-macam. Pandangan itu tidak tunggal dan tidak universal.
Sesuai dengan anggapannya bahwa berbagai perbedaan pandangan dunia itu menimbulkan juga perbedaan-perbedaan dalam pengamatan terhadap kenyataan dan penerimaan kebenaran maka Jaspers menolak disusunnya suatu ontologi yang universal. Hal itu terjadi karena dunia yang kita amati selalu tampil sebagai pengalaman pemisahan subyek-obyek; kita sebagai sibyek dan dunia sebagai obyek. Sebagai subyek, kita berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam pengamatan kita masing-masing, dunia akan berbeda ragamnya. Setiap manusia dalam situasinya sendiri-sendiri tampil dengan kekhususannya dalam mengamati dunianya. Kita tidak akan mungkin sampai pada penemuan esensi yang tunggal, universal, dan mutlak, sebab selama kita masih mendiami dunia ini dengan penghayatan subyek-obyek, maka dunia yang kita amati adalah dunia yang fenomental semata-mata, yaitu dunia sebagaimana tampilnya pada kita atau dunia yang merupakan konstruksi kita juga.
Untuk menjawab persoalan atau menangkap subyek-obyek ini dalam ketunggalan, kita harus menangkapnya sebagai sesuatu yang menyeluruh. Jaspers mengeluarkan istilah das Umgreifende atau the Comprehensive.
“Yang komprehensif itu akan tetap tak jelas bagi kesadaran saja. Ia menjadi terang hanya melalui obyek-obyek dan makin bertambah terang lagi bilamana obyek-obyek itu menjadi lebih disadari dan lebih jernih,” ungkapnya.
Dikotomi subyek-obyek akan selalu menyertai kita dalam usaha mengamati, memahami, dan menghayati kenyataan. Jaspers menggunakan suatu contoh tentang betapa kita sebenarnya membelah diri bilamana kita melakukan pengamatan terhadap diri sendiri sehingga kalau kita menjadikan diri kita sendiri sebagai objek pemikiran maka sebagian dari kita itu akan kita hayati sebagai obyek. Dengan kata lain, kita (sebagai subyek) memikirkan tentang kita (sebagai obyek) dan, sebagai obyek, kita adalah sesuatu yang lain dari kita sebagai obyek.
Bagi Jaspers, manusia adalah suatu kebebasan. Dia juga tidak menerima anggapan bahwa eksistensi harus dihayati sebagai sesuatu yang final. Eksistensi justru tidak berkepastian dan tidak final.
Baginya, sebagai eksistensi, manusia akan selalu menemui dirinya berada dalam situasi tertentu. Manusia adalah manusia-dalam-situasi. Selanjutnya, manusia hanya mungkin menjalani eksistensinya bilamana ia berada bersama orang-orang lain. Artinya, eksistensi hanya mungkin melalui kehidupan bermasyarakat. Manusia akan selalu terlibat dengan peristiwa-peristiwa dan situasi-situasi yang bersifat sosial. Cara manusia meghadapinya, bisa bermacam-macam. Ia bisa saja menyerah pada segala situasi social tanpa merasa mampu atau perlu mempertahankan dirinya sebagai suatu kesejatian diri. Dengan demikian, akan mengagalkan seseorang tampil dengan kesejatian dirinya. Menurut Jaspers, yang penting ialah cara bagaimana komunikasi dengan situasi-situasi sosial itu bisa dilakukan tanpa seseorang kehilangan kesejatian pribadinya.
Bagi Jaspers alasan seseorang harus berkomunikasi  dengan kehidupan masyarakat adalah melihat adanya manfaat bagi manusia. Dengan kehidupan bermasyarakat, akan dimungkinkan adanya pengaturan-pengaturan yang bisa menjaga manusia agar tidak menjalani hidupnya sebagai mahkluk instintif  belaka. Pranata sosial akan menjamin berlakunya norma-norma yang berlaku bagi sesamanya sehingga menjamin komunikasi eksistensial (komunikasi yang merupakan kesempatan bagi kedua belah pihak untuk bersedia tampil dengan kesejatiannya masing-masing).
Jaspers juga menilai negatif terhadap masyarakat. Dia menunjukkan adanya bahaya yang terkandung dalam setiap masyarakat yang kehidupannya telah dikuasai teknologi. Seperti Kierkegaard, Jaspers khawatir bahwa gejala penyamarataan manusia terhadap manusia akan makin menjadi-jadi.
“Manusia tampaknya mampu untuk menghapuskan dirinya sendiri, untuk kehilangan dirinya, serta  mendapat kepuasan dalam keadaan tanpa kepribadian. Kita sedang dalam perjalanan menuju ditelannya manusia secara fungsional oleh mesin,”ungkapnya.
Ia juga melihat hubungan kemajuan teknologi dengan kehidupan  politik yang hanya cenderung mengarah ke nihilisme. Kritiknya ini, ia arahkan kepada Jerman-Nazi waktu itu hingga ia dipecat dari jabatannya sebagai guru besar di Universitas Heidelberg.
Untuk itu, ia mengajak  kita untuk menuju ke humanisme yang baru dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagai sesuatu yang tak bisa diasingkan dari eksistensinya. Baginya, eksistensi sejati haruslah dijalani melalui penghayatan kebebasannya. Kebebasan bagi Jaspers adalah kebebasan manusia yang terus menjelmakan diri secara terus-menerus, seolah-olah bergerak  menuju ke kesempurnaan (akan tetapi Jasper meyakini bahwa kesempurnaan takkan pernah tercapai). Kebebasan ini pun tak dapat dipisahkan dengan kesejarahan.
“Manusia harus tahu siapa dia tadinya, untuk menyadari mungkin menjadi apa dia nantinya. Sejarah masa lalunya adalah factor dasar yang tak bisa dihindarkan bagi masa depannya,”ungkapnya. Selain itu, kebebasan diri haruslah disertai dengan pengakuan dan penerimaan bahwa orang lain itu memiliki kebebasan.Kebebasan yang menjadi kondisi untuk eksistensi sejati haruslah dihayati bersama orang lain karena kesejatian eksistensial hanya terungkap dalam komunikasi eksistensial. Di samping itu, kebebasan itu justru harus dihayati dengan transendensi, yaitu transendensi (sebuah kepercayaan) yang menuju kepada Tuhan, sebab tanpa transendensi atau ketidakpercayaan akan membawa kita kepada nihilisme (kekosongan), demonologi (melahirkan tuhan-tuhan baru), dan deifikasi (menuhankan seseorang).
“Makin sejati kebebasan seseorang, makin kuat kepastiannya tentang Tuhan. Kalau saya sungguh-sungguh bebas. Saya menjadi pasti bahwa saya tidak bebas karena saya sendiri,”ungkapnya.


 Jaspers

No comments:

Post a Comment