Saturday, 27 August 2011

Sebuah Eksistensi #5

5. Satre


"Eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L'existence précède l'essence)"


Satre dilahirkan di Paris, 21 Juni 1905. Sejak kecil, ia terkenal sebagai anak yang fisiknya lemah sekali dan sangat sensitif. Masa sekolah merupakan pengalaman yang cukup pahit karena sering dicemooh teman-temannya. Namun, di kalangan gurunya, ia terkenal sebagai anak yang cerdas. Perkenalannya dengan Husserl saat mendapat beasiswa ke Jerman merupakan patokan penting dalam perkembangan Satre sebagai seorang filsuf. Melalui Husserl, ia berkenalan dengan metode fenomenologi, yaitu suatu metode yang kemudian dikembangkannya dalam filsafat eksistensinya.

Ketekunannya menjelajahi filsafat tentang manusia akhirnya menghasilkan  karyanya yang terbesar, yaitu L,Etre et le Neant pada tahun 1943. Dengan karyanya ini, mantaplah kedudukan Satre sebagai seorang filsuf, bahkan karyanya ini menjadi landasan untuk karya-karyanya selanjutnya.

Bagi Satre, manusia itu mengada dengan kesadaran sebagai dirinya sendiri sehingga hal yang demikian itu tidak bisa dipertukarkan. Keberadaan manusia berbeda dengan keberadaan benda-benda lain yang tidak memiliki kesadaran atas keberadaannya sendiri. Bagi manusia, eksistensi adalah keterbukaan; berbeda dengan benda-benda lain yang keberadaannya sekaligus berarti esensinya sehingga untuk manusia, eksistensi mendahului esensi.

"Manusia tidak lain ialah bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri. Begitulah asas pertama eksistensialisme,"ungkap Satre.

Untuk itu, asas dasar pertama memahami manusia, haruslah mendekatinya sebagai subyektifitas. Manusia sebagai pencipta dirinya sendiri tidak akan pernah selesai dengan ikhtiarnya itu. Sebagai eksistensi yang ditandai oleh keterbukaannya menjelang masa depannya, maka manusia pun merencanakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri.

"Manusia tiada lain adalah rencananya sendiri; ia mengada hanya sejauh ia memenuhi dirinya sendiri; oleh karenanya, ia tiada lain adalah kumpulan tindakannya, tiada lain ialah hidupnya sendiri,"ungkap Satre.

Artinya, manusia bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Apapun jadinya eksistensinya, apapun makna yang hendak diberikan kepada eksistensinya itu, tiada lain adalah dirinya sendiri yang bertanggungjawab. Dalam membentuk dirinya sendiri itu, manusia mendapat kesempatan setiap kali memilih apa yang baik dan apa yang kurang baik baginya. Setiap pilihan yang dijatuhkan terhadap alternatif-alternatif yang dihadapinya adalah pilihannya sendiri. Ia tidak bisa mempersalahkan orang lain, tidak pula menggantungkan keadaannya pada Tuhan.

Menurut Satre, apapun pilihan yang diambil oleh manusia sebagai pribadi, pada akhirnya akan merupakan keputusan yang sebenarnya menyangkut seluruh kemanusiaan, sebab meskipun kita membuat suatu pilihan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pribadi, sebenarnya  tindakan memilih itu terkait pula pada suatu citra tentang manusia pada umumnya sebagai pribadi yang kita cita-citakan. Artinya, saat memilih apa yang baik, tindakan memilih itu sesungguhnya didasarkan pada citra manusia tentang  manusia yang pada umumnya akan melakukan hal yang sama dengan kita, meskipun kita menciptakan diri sendiri dengan memutuskan pilihan-pilihan itu.

Untuk itulah, tanggung jawab yang menjadi beban kita jauh lebih besar dari sekedar tanggungjawab terhadap diri kita sendiri, sebab tanggung jawab itu juga meliputi tanggung jawab kita terhadap seluruh kemanusiaan.

"Saya bertanggungjawab baik bagi diri sendiri maupun bagi setiap orang lain. Saya menciptakan gambaran tertentu tentang manusia atas dasar pilihan saya sendiri. Dalam memilih bagi diri sendiri, saya memilih bagi manusia,"ucap Satre.

Inilah antara lain yang menyebabkan manusia selalu menghayati kecemasan. Hal ini terjadi karena ia selalu menghadapi keharusan untuk memilih, meskipun tindakan memilih itu tidak saja akan melibatkan dirinya sendiri, melainkan juga akan menyangkut manusia sesamanya.

Contohnya adalah seseorang yang memilih ikut serta dalam peperangan membela negerinya, sebenarnya membayangkan bahwa pilihannya itu adalah yang tepat dan dengan demikian, ia pun mengharapkan bahwa orang-orang lain pun akan mengambil keputusan yang sama dengan pilihannya itu.

Persoalannya adalah dari mana ia bisa mendapat kepastian bahwa orang lain akan bertindak sama dengan dia sendiri? Dari mana ada kepastian bahwa pilihannya adalah yang paling tepat? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan kepastian. Yang pasti ialah keputusan untuk menjatuhkan pilihan itu tidak bisa lain, kecuali menjadi tanggungjawab diri sendiri, sekalipun dihayati sebagai keputusan yang berlaku untuk manusia lain.

Inilah mengapa eksistensi ini dijalani dengan kecemasan dan kemuakan. Terhadap tuduhan  yang mengatakan eksistensialisme adalah atheisme, Satre menjawab, "Eksistensialisme itu tidaklah sedemikian ateistisnya sehingga mengerahkan segala-galanya untuk menunjukkan bahwa Tuhan itu ada. Namun, eksistensialisme menyatakan bahwa meskipun Tuhan ada, tidak akan ada yang berubah karena-Nya."

Tuhan tidak bisa dimintai tanggungjawab dan tidak bisa dijadikan tempat untuk menggantungkan tanggungjawab. Tuhan tidak terlibat dalam putusan yang diambil manusia. Manusia adalah kebebasan dan hanya sebagai kebebasan, ia bisa bertanggungjawab. Kebebasan itu mutlak; tanpa kebebasan eksistensi menjadi penjelmaan yang absurd. Eksistensi justru merupakan suatu keterbukaan yang tidak pernah selesai. Manusia yang terus-menerus mencipta dirinya mengandung arti bahwa ia menghayati dirinya sebagai suatu rencana yang dilemparkan ke masa depannya. Manusia adalah perkembangan  dirinya secara terus-menerus, masa kininya sekaligus merupakan masa depannya, sebab apa yang diciptakannya kini adalah proyeksinya ke masa depan. Tanpa kebebasan, hal ini tidak mungkin. Bagi Satre, kebebasan itu melekat pada setiap tindakan manusia. Apa yang dilakukan manusia seharusnya diartikan sebagai ungkapan dari kebebasannya, sebab ia pun bisa memilih untuk bertindak lain.
Ia juga menyebutkan apa yang menjadi batas-batas dan mengurangi  kebebasan itu dengan kefaktaan (facticity) yang tak mungkin ditiadakan, yaitu:
  • Tempat kita berada. Kita selalu berada di suatu tempat  dan dari tempat itu, kita mungkin akan berpindah tempat lagi, dan seterusnya. Tempat yang kita diami akan memberikan struktur kepada kita, tetapi juga kita beri struktur. Tempat yang kita diami itu bisa kita jadikan landasan dari tindakan-tindakan kita. Akan tetapi, kebebasan juga bisa kita tinggalkan jika tempat itu kita hayati  sebagai sesuatu yang menghalangi kebebasan.
  • Masa lalu. Kita tidak bisa meniadakan masa lalu kita sendiri, sebab dari apa yang lampau itu menjadilah kita sebagaimana kita sekarang. Bagi Satre, masa lalu sebagai bagian dari sejarah kita tidak bisa mengurangi kebebasan kita untuk mengambil keputusan-keputusan atau memilih alternatif-alternatif, seperti yang diyakini determisnime-historis.
  • Kenyataan adanya sesama manusia dengan masing-masing eksistensinya sendiri. Kehadiran orang lain adalah kefaktaan yang tidak bisa kita sangkal. Contohnya adalah seorang negro di negara orang kulit putih. Di negara itu, ia tidak bisa menyangkal identitas yang dikenakan kepadanya, yaitu orang kulit hitam (penampilannya menunjukkan latar belakangnya. Penampilan yang khas dengan latar belakangnya yang khas pula adalah kenyataan yang tak bisa disembunyikannya. Kefaktaan itu bukanlah merupakan pilihannya. Ia terikat di luar  kemauannya sendiri. Apakah ia akan kehilangan kebebasannya? Satre menolak anggapan demikian, sebab orang kulit hitam itu dapat memilih cara bagaimana ia menerima kefaktaan itu dengan kebebasannya untuk menentukkan pilihan, berbagai kemungkinan terbuka baginya untuk memilih. Ia tetap bebas untuk itu, tetapi ia tidak bisa meniadakan kefaktaan yang menyertai dirinya, misal ia meninggalkan masyarakat kulit putih yang didiaminya.
  • Maut. Bagi Satre, setiap eksistensi manusia harus diakhiri dengan tibanya maut. Artinya, maut pun menjadi salah satu pembatasan bagi kebebasan manusia. Bagi Satre, maut adalah absurd karena tibanya di luar dugaan, serta sesuatu yang berada di luar eksistensi. Kefaktaan memang merupakan batas terhadap kebebasan kita, tetapi batas itu di luar eksistensi kita. Maut tidak mempunyai makna apa-apa dalam hubungan dengan eksistensi kita sebagai perwujudan yang sadar.










"Realitas manusia adalah bebas, secara asasi, dan sepenuhnya bebas." (Satre)

       
   

No comments:

Post a Comment