Menurut Saut Situmorang, sastra cyber muncul karena adanya kejenuhan pada hegemoni kekuasaan media massa cetak koran yang kebetulan hanya dianggap sisipan pada halaman sastra edisi Minggu (Situmorang, 2004: 75). Kran untuk menulis di sastra cyber memang terbuka begitu lebar, tanpa ditakuti dengan penolakan seorang polisi sastra bernama editor atau redaktur. Sesuatu yang baru itu muncul, biasanya terjadi karena adanya kejemuan yang selalu melulu begitu kaku dan sulit dikompromi.
Di tengah derasnya arus revolusi komunikasi, ternyata juga berdampak pada dunia kepenulisan. Kelahiran satrawan cyber pun tak lepas dari pengaruh ini. Revolusi komunikasi yang diciptakan teknologi internet, telah menciptakan ruang-ruang alternatif baru di luar dunia media massa cetak yang ada (Situmorang, 2004: 76). Untuk itu, tak heran bila sastra cyber berkembang begitu cepat karena tanpa prosedur yang bertele-tele dan penilaian yang lama. Sifat demokratis sastra cyber juga menghancurkan tembok “estetika modern” yang fasis, yang hanya mengenal dua kategori saja, yatu seni dan nonseni, estetika dan tidak estetika, memiliki dan tidak memiliki “anutan puitik”, highculture atau low culture (Situmorang, 2004:79).
Selain itu, ada sebuah pernyataan yang bagus dari Medy Loekita, Ketua Yayasan Multimedia Sastra, bahwa sastra cyber bukanlah dosa penyimpangan karya sastra, melainkan salah satu bentuk produk modernisasi dengan karakter umum, yakni cepat, mudah, dan nyaman (Situmorang, 2004: 77-78).
Masa depan Sastra
Cyber?
Dengan maraknya perkembangan teknologi (laptop, tablet, dan handphone alias gadget canggih), dunia kepenulisan akan mengalami revolusi besar-besaran dari tahun 2012 hingga tahun-tahun ke depan. Dunia kepenulisan akan menjadi raksasa industri di tahun-tahun ke depan. Banyaknya fasilitas hotspot (wifi gratis) atau paket internet yang murah juga akan ikut mendukung revolusi kepenulisan. Belum lagi ada kampanye go green atau stop global warming dengan pembatasan penebangan pohon-pohon untuk dijadikan kertas.
Artinya, masa depan sastra cyber akan begitu cerah, gilang-gemilang, meski kemunculannya sering dicibir karena dianggap sebagai karya pelarian, karya yang ditolak editor dan redaktur, atau karya sampah yang dimasukkan tong sampah. Sastra cyber malah pernah dicap sebagau “tong sampah” belaka bagi karya-karya yang ditolak oleh media cetak koran. Dari pernyataan ini tampak jelas adanya asumsi yang kuat bahwa redaktur sastra koran adalah otomatis “kritikus” sastra dan karya-karya yang mereka terbitkan di kolom budaya mereka itu “memang” sudah merupakan karya seni sastra! Redaktur sastra koran dianggap mempunyai kualifikasi dan kredensial untuk menjadi “kritikus” sastra hanya karena pekerjaannya yang jadi redaktur “sastra” di sebuah harian. Saya ketawa keras-keras menanggapi omong kosong ini (Situmorang, 2004: 296).
Di samping itu, sastra cyber dianggap sebagai metamorfosa tingkat lanjut dari sastra lisan (Situmorang, 2004:60). Kalau dulu, orang menulis syair, pantun, balada tanpa melalui seorang editor atau redaktur maka jaman itu telah kembali lagi dengan tampilan versi digital yang lebih bagus. Kini, semua orang bisa menjadi penulis puisi, novel, drama, tanpa takut ditolak editor atau redaktur. Kalau dulu orang menulis epos atau puisi di daun lontar atau kertas, kini orang menulis puisi di dunia maya atau versi digital. Inilah yang dimaksud dengan mengikuti perkembangan jaman, yaitu menggunakan media yang memang sedang dipakai saat itu juga. Tindakan ini tentu tidak salah.
Bagi para penulis sastra cyber tidak usah mencemaskan, apakah karyanya akan dianggap karya sastra atau bukan karena yang menjadikan karya disebut karya sastra adalah pembaca. Lalu, siapa yang membuat seorang penulis menjadi sastrawan? Jawabannya adalah pembaca. Selama karya seorang penulis masih dinikmati,dibaca, didiskusikan dari waktu ke waktu maka karya itu telah menjadi karya sastra dan penulisnya menjadi sastrawan (Situmorang, 2004:63-64).
Sebenarnya, lolosnya sebuah karya dari tangan editor tidak menjamin bahwa sebuah karya memang berkualitas dan sukses. Dan sebaliknya, tidak lolosnya sebuah karya bukan berarti karya itu tidak berkualitas (Situmorang, 2004:62).
Contoh penulis yang sudah memulai langkah sebelum Indonesia ribut tentang sastra cyber adalah Stephen King yang biasanya menulis novel dalam ratusan halaman menerbitkan Riding the Bullet yang hanya dalam 67 halaman (cyber), dengan file 0,3 Mb, yang dijual seharga $ 2.50.
Satu web yang sudah menerima pandangan tentang masa depan sastra cyber akan begitu cemerlang ke depan adalah nulisbuku.com dan Fiksiana, Kompasiana. Kedua web inilah yang terasa begitu konsisten untuk terus-menerus melayani para penulis pemula sastra cyber.
Di web kepenulisan nulisbuku.com ini, setiap penulis akan difasilitasi dengan berbagai layanan, misal pembuatan cover gratis, layout naskah gratis. Pembagian royaltinya pun dilakukan secara transparan. Di web inilah kita akan menemukan ratusan penulis sastra cyber dari Indonesia, baik itu kumpulan puisi, novel, cerita pendek, maupun drama.
Sedangkan, di Fiksiana, Kompasiana, setiap penulis akan diberikan forum Puisi, Cerita Mini, Cerita Pendek, Drama, dan Dongeng. Penulis dengan mudah akan menemukan forum yang tepat sesuai dengan minatnya.
Untuk penutup, kelebihan sastra cyber adalah ruang apresiasi yang online. Kita bisa saling langsung berargumen, berdiskusi, adu pendapat dengan para komentator karya kita. Lain dengan polemik atau bila ingin berkomentar di koran atau majalah, membutuhkan waktu yang lama karena biasanya kolom sastra hadir mingguan, bahkan bulanan atau triwulanan untuk majalah. Kita akan jenuh untuk menunggu balasan itu, bahkan bisa jadi terkesan basi saat dibaca ketika itu. Kecepatan tertinggi adalah tipikal khas jaman modern. Siapa yang tidak cepat, akan tertinggal.
***
Sumber:
Sitomurang, Saut. 2004. CyberGrafiti: PolemikSastraCybe.Yogyakarta: Jendela.
No comments:
Post a Comment