Fenomena sosial era Kolonial Belanda
Menurut pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Ibnu Wahyudi, panggilan "Nyai" memiliki konotasi mulia, yakni seorang perempuan terhormat karena berarti seorang perempuan terhormat (lady, dalam bahasa Inggrisnya). Sebutan nyai itu bagus, misalnya untuk memanggil istri kyai di Jawa. Di Sunda juga berarti sama seperti itu.
Menurut Ibnu Wahyudi, pada masa penjajahan, kekuatan tentara penjajah yang datang saat itu tanpa disertai kaum perempuan. Akibatnya, mereka kemudian mencari istri pengganti di wilayah yang ditaklukkannya. Di saat itulah makna "nyai" mengalami pergeseran makna dan arti ke arah yang negatif di kalangan umum.
Selain itu, pos dana bagi pegawai VOC untuk membiayai pernikahan dengan perempuan asli Eropa juga tak murah, terutama karena besarnya tunjangan dan mas kawin yang harus mereka berikan. Alhasil, pilihan untuk memelihara gundik dirasakan mereka lebih menguntungkan. Mereka menganggap pilihan perkawinan ini tepat karena biaya untuk menikahi perempuan Asia lebih murah daripada ketika menikahi perempuan Eropa.
Menurut Reggie Baay (seorang indo dan penulis buku Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda, terbitan Komunitas Bambu), para pendukung pergundikan di era itu menyebutkan, pergundikan menjamin keadaan yang tidak mengikat diri dan dirasa menyenangkan bagi para lelaki Eropa. Selain itu, pergundikan juga mampu menahan mereka dari minuman keras, menjauhkan diri dari pelacur, dan menjaga pola pengeluaran uang agar tetap dalam batasnya. Di samping itu, para nyai mampu menjadi jembatan budaya bagi para kawula yang dijajahnya.
Apalagi, di kalangan para pegawai itu juga muncul dugaan bahwa perempuan Eropa yang mau di datangkan ke Hindia Belanda sebenarnya hanya berniat memperkaya diri. Mereka juga malah di tuding sebagai biang "onar" karena banyak yang berulah mengompori para suaminya untuk melakukan berbagai tindakan penggelapan uang atau korupsi. Dampaknya, sejak itulah praktik pergundikan semakin meluas dan nyaris tak tertahankan.
Mereka itu (para nyai) menjadi seperti para budak perempuan yang tinggal di rumah tangga orang Eropa. Fungsinya pun "all in". Selain mengurusi kebutuhan rumah tangga, para perempuan itu juga mengurusi kebutuhan nafsu ranjang para tuannya. Mereka ini memang bukan pelacur yang memungut atas jasa yang telah diberikannya, tapi mereka juga bukan istri yang sebenarnya karena tak pernah menikah "secara resmi". Sosok gundik yang kemudian dikenal oleh kalangan Belanda dengan sebutan nyai itu memang rumit. Di satu sisi, ada persoalan sosial, tapi di sisi yang lain ada juga persoalan agama. Bagi orang Belanda selaku penganut Kristen yang taat saat itu memang tabu bila hidup dengan perempuan tanpa melalui perkawinan sah.
Lalu, mengapa sejarah melupakannya? Ibnu Wahyudi menjawab karena selama ini sejarah memang hanya terpaku pada narasi besar. Nasib kaum papa, seperti para nyai ini tak menjadi perhatian serius. Sejarah terpaku di sekitar kehidupan para tokoh belaka. “Baru belakangan ini saja sejarah mulai berubah. Sebelumnya, ya terpaku menyoroti sisi kehidupan para elitenya saja,” katanya menegaskan. (sumber: http://www.komunitasbambu.com/regular/berita.php?br=80)
Njai Kedasih, Penuh Idealime...
Tokoh Kedasih dalam novel Njai Kedasih memiliki karakter tersendiri, misal ia bisa melihat mata lelaki yang hanya melihat kemolekan tubuhnya dan tidak tulus hatinya sehingga tak mudah takluk dengan rayuan laki-laki yang tertarik pada dirinya. Ia memang pernah memiliki suami beberapa kali, tapi raib dipisahkan maut hingga terusir dari kampungnya karena dianggap membawa kutukan.
Kedasih juga memiliki latar pendidikan yang lumayan, meski hanya sampai tingkat H.I.S (setara dengan SMP) sehingga ia bisa membuat heran kepada orang-orang Eropa yang ingin merendahkannya. Ia bukan wanita pada umumnya.
Kedasih juga wanita mandiri, bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, meski hanya berjualan kain batik di Pasar Senen, Batavia. Kedasih hidup berdua dengan Mbok Min, orang yang dipercayai Ibunda Kedasih untuk menemaninya. Ibundanya memang tak tega melihat Kedasih pergi sendirian.
Kedasih juga tidak seperti yang diceritakan dalam buku-buku sejarah. Ia tak menjual harga dirinya, seperti Nyai Dasima yang selingkuh dengan Baba Samioen, karangan G. Francis. Selain itu, Kedasih meski sudah janda tak suka main serong dengan laki-laki lain atau melayani godaan Raden Sewoyo yang sering nakal, seperti sosok Nyai Saipa yang serong dengan jongosnya si Tjonat, karangan F.D.J. Pangemanann. Hatinya lebih memilih menunggu seorang laki-laki yang akan resmi menjadi suaminya kelak. Kedasih, nyai yang setia.
Harapan Kedasih untuk menemukan laki-laki yang tepat terwujud ketika dirinya bertemu di trem dengan Tuan Heidel, Insinyur Kereta Api yang bermata biru. Hubungan keduanya pun berlanjut hingga Kedasih sering mampir ke Stasiun Beos. Mereka berdua memutuskan ke arah yang lebih serius. Apakah mereka menikah, baca novel Njai Kedasih ya.
Ketika Jepang datang, suaminya membantu KNIL mempertahankan Pulau Jawa. Selama perang berlangsung, mereka hanya berhubungan melalui surat. Hingga sampai suatu waktu tak ada lagi surat datang dari Heidel. Apakah Suaminya ini akan kembali? Dengan begitu sedih, Kedasih berjanji untuk terus menunggunya.
*
Kutipan dari novel Njai Kedasih, yaitu:
“Ah, wangi sekali Istriku ini,” komentarnya ketika sibuk melepas jas, lalu dasi, dan meloloskan beberapa kancing baju lengan panjangnya di sisi pojok ruangan, menghadap cantelan baju. Ia menghampiriku dari belakang. Dari permukaan kaca, Suamiku terlihat tersenyum. Aku diam.
“Kau kenapa, Istriku, tak seperti biasanya,” ucapnya karena menangkap perubahanku hari ini. Aku lebih banyak diam.
“Ada persoalan apa?” Katanya lagi lalu menciumi leherku. Aku masih diam.
“Ini apa?” setelah tak tahan lagi, kuletakkan pistol kecil di atas meja riasku.
“Astaga. Jangan salah sangka dulu Istriku?” Ia berjongkok di sisiku, tepat di samping bangku tempatku duduk. Ia menyandarkan kepalanya. Arah matanya menatap pistol kecil yang tergeletak, mengilat pada ujung dan beberapa sisinya.
***
Winston
Churchill, “Sejarah hanya ditulis oleh para pemenang.”
No comments:
Post a Comment