Godlob
- Danarto-
Gagak-gagak hitam bertebahan dari angkasa, sebagai
gumpalan-gumpalan batu yang dilemparkan, kemudian mereka berpusar-pusar,
tiap-tiap gerombolan membentuk lingkaran sendiri-sendiri, besar dan kecil tidak
keruan sebagai benang kusut. Laksana setan maut yang compang-camping mereka
buas dan tidak mempunyai ukuran hingga mereka loncat ke sana loncat kemari,
terbang ke sana terbang kemari, dari bangkai atau mayat yang satu ke gumpalan
daging yang lain. Dan burung-burung ini jelas kurang tekun dan tidak memiliki
kesetiaan. Matahari sudah condong, bulat-bulat membara dan membakar padang gundul yang luas
itu, yang diatasnya berkaparan tubuh-tubuh yang gugur, prajurit-prajurit yang
baik, yang sudah mengorbankan satu-satunya milik yang tidak bisa dibeli: nyawa
! Ibarat sumber yang mati mata airnya, hingga tamatlah segala kegiatan menangis
karena habisnya susu ibu.
Tiap mayat berpuluh-puluh gagak yang berpesta pora
bertengger-tengger di atasnya, hingga padang gundul itu sudah merupakan
gundukan-gundukan semak hitam yang bergerak-gerak seolah-olah kumpulan
kuman-kuman dalam luka yang mengerikan.
Suara-suaranya bagai kaleng-kaleng yang ditendang-tendang di
atas lantai ubin, merupakan panduan suara lagu-lagu maut yang dahsyat, tak
henti-hentinya memenuhi seluruh padang bekas pertempuran itu, jalinan-jalinan
nada yang kacau-balau seolah setan-setan itu ketakutan oleh ancaman setan-setan
lain atau sebuah persidangan tempat terjadi perdebatan-perdebatan yang tak
menentu, dengan hasil yang gilang-gemilang, yaitu kemampuan memberikan rakyat
berkaparan di tong-tong sampah.
Senjata berserakan di mana-mana. Beberapa senapan dengan
sangkur terhunus, menancap di sisi-sisi mayat dengan topi bajanya terpasang
diatas. Mungkin seorang teman sempat berbuat begini, sebelum ia sendiri
ditolong oleh teman lainnya diberi tanda begitu.
Beberpa ekor gagak bermain-main dengan granat dan beberpa
ekor yang lain menyeret-nyeret tali pinggang yang penuh peluru. Yang lain
kelihatan hinggap diatas bren sambil menggaruk-garuk tubuhnya dan
merentang-rentangkan sayapnya.
Bau busuk, anyir, menegang-negang seluruh bentangan padang
gundul itu, hingga udara siang hari ingar-bingar oleh daging-daging yang
menguap dan malam hari terasa pengap, seolah-olah mayat-mayat itu ada dalam
kaleng.
Kalau angin bertiup keras, maka bau itu terbang ke mana-mana
jauh dan jauh sekali, seolah kabar-kabar buruk yang diwartakan kepada tiap
hidung, untuk dirasakan bersama bahwa perang itu busuk. Tetapi prajurit adalah
prajurit, ia tabah akan semua perintah, walaupun bagaimana bentuk dan beratnya,
dan perang itu pun berjalan lancar dan memuaskan dengan hasil yang gilang-gemilang,
yaitu pembunuhan berpuluh-puluh ribu manusia sebagai babatan alang-alang. Ya,
manusia adalah alang-alang.
Matahari makin condong, bagai gumpalan emas raksasa yang
bagus, membara menggantung di awang-awang dan pelan-pelan mau menghilang di
balik bukit sana.
Dari ujung padang gundul itu, berderak-derak sebuah gerobak
tanpa atap yang ditarik oleh dua ekor kerbau. Kelihatan di dalamnya dua orang
laki-laki. Seorang anak muda terbaring parah di atas jerami. Yang seorang lagi
tua, tetapi masih kelihatan kuat. Gerobak itu bergerak lambat dan karena
keadaan jalan yang tidak rata, banyak lubang bekas meledaknya bom-bom atau
peluru-peluru meriam hingga kedua penumpang itu terangguk-angguk, bahkan
kadang-kadang terbanting pada dinding gerobak. Kerbau-kerbau itu berjalan
gontai dan lemah, seolah-olah sudah segan untuk menarik kedua pemumpangnya dan
ingin berhenti saja. Tiap kali gerobak itu melewati gerombolan gagak-gagak yang
sedang pesta itu, gerombolan yang satu ke gerombolan yang lain, hingga
mengingatkan lalat-lalat yang diusir dari koreng kerumunannya.
‘’Bangsat, kamu
sinting!’’ bentak orang tua itu sambil memukul beberapa ekor gagak ke sana
kemari yang tiba-tiba menyerang gerobak itu.
‘’Kau kira! Kau kira!’’ ia memukul seekor yang hinggap di
kepala anak muda yang berdarah itu. ‘’Kau kira kami bangai-bangkai ?’’ tetapi
pukulan meleset dan mengenai kaleng hingga berderang terpelanting jauh dan
burung itu terbang tertawa-tawa.
Ia meloncat mengambil kaleng itu. Kemudian gerobak itu
dibiarkannya jalan di muka, ia terpukau berdiri. Pandangannya berkeliling. Raut
mukanya menyeringai menatap gerombolan gagak-gagak mengerumuni bangkai-bangkai
itu. Puluhan, ratusan, memenuhi padang itu. Kemudian ia lari dan tertawa-tawa,
meloncat ke dalam gerobak.
‘’Anakku.’’katanya
sambil memapah anak muda itu.’’Kau lihat. Kau lihat. Baru sekarang aku takjub
atas pemandangan ini. Kau lihat.’’
‘’Ayah, cukuplah,’’jawab anak muda itu sambil merebahkan sirinya
di atas jerami lagi. Bukankah aku menarin-kemarin juga terbaring seperti
mereka, sebelum Ayah mendapatkan aku ?
‘’Yah, seperti mereka, sebelum aku mendapatkan kau! Dan
berhari-hari tangan-tanganmu yang lemah itu menggapai-gapai untuk mengusir
burung-burung yang menyerangmu. Dan hidupmu yang mewarisi hidung ibumu itu
sudah cukup kebal untuk bau busuk bangkai kawan-kawanmu atau musuh-musuhmu. Dan
udara menghantarkan kuman-kuman untuk mnegunyah sedikit demi sedikit
luka-lukamu yang parah itu.’’
‘’Ayah, cukuplah,’’ keluh prajurit muda itu sambil
membetulkan balutan luka-luka yang kotor dan membusuk itu.
‘’Kau masih ingat sajak ‘Sang Politikus’?’’tanya orang tua
itu. Tapi karena kata-kata itu seolah-olah ditunjukan kepada dirinya sendiri, maka
anak muda itu tidak menjawab. Orang tu itu lalu berdiri, tangannya merentang
dan memandang sekeliling:
Oh, bunga penyebar bangkai
Di sana, di sana pahlawanku tumbuh mewangi
Ia berhenti deklamasi, sejenak ia termangu, sedang tangannya
masih tetap terentang, lalu meledaklah tawanya dan bubarlah gerombolan gagak
di kanan kirinya.
‘’Sajak itu cukup baik, cukup bermutu, bukan ?’’kata orang
tua itu.’’Anakku, kau tahu bedanya sajak yang dibuat oleh seorang politikus dan
seorang penyair?’’
Orang tua itu lalu memandang berkeliling lagi.
‘’Kalau ada seorang
yang menderita luka datang kepada seorang politikus, maka dipukullah luka itu,
hingga orang yang punya luka itu akan berteriak kesakitan dari lari tunggang
langgang. Sedangkan kalau ia datang pada seorang penyair, luka itu akan di
elus-elusnya hingga ia merasa seolah-olah lukanya telah tiada. Sehingga tidak
seorangpun dari kedua macam orang itu berusaha mengobati dan menyembuhkan luka
itu.
Bagaimana pendapatmu, Anakku?’’
‘’Ayah, cukuplah,’’
Dan gagak-gagak itu bubar berkerumun kembali. Lalu ganti
berganti: bau busuk-kerbau gontai, bau busuk-sore redup, bau busuk-derap
gerobak, bau busuk-kaok gagak.
‘’Malam datang, Anakku. Sedang gagak-gagak itu masih belum
juga kenyang.’’
Keadaan telah gelap gulita, hanya sekali-kali jauh di sana
melayang-layang pistol cahaya, mencari-cari nyawanya yang masih hinggap di
badan.
‘’Kalau malam gelap seperti ini, aku sangsi apa besok
matahari sanggup menembusnya. Semuanya menyaksikan saya. Siang berganti siang.
Malam berganti malam. Tidak ada sesuatu yang baru dalam hidup kita. Rutin. Rutin.”
‘’Ayah, cukuplah. Bagiku semuanya memastikan. Tidak ada yang
menyangsikan walaupun keadaanya rutin, rutin belaka. Semuanya kita sudah di
atur. Tanpa kuminta dan di luar pengetahuan saya, lahirlah saya dari rahim
ibuku yang bersuamikan Ayah,’’ia berhenti bicara karena napasnya
tersengal-sengal. Dan roda-roda gerobak berderak-derak, sedang dua ekor kerbau
ogah-ogahan.
‘’Aku anak bungsu. Kenapa aku tidak meminta sebagai anak
sulung ? Aku kagum kepada tentara. Aku ingin memasukinya. Aku dilarang. Perang
pecah dan membawaku ke sana. Sekarang aku luka parah, mungkin bisa hidup terus,
mungkin sebentar nanti mati. Tetapi kini aku bisa berkata bahwa tentara itu
baik. Semacam manusia yang percaya kepada manusia lain, sehingga kepasrahan ini
mampu mendorong nya untuk mengorbankan segala-galanya, harta bendanya,
keluarganya, dan nyawanya.’’
‘’Ya manusia yang
mulia di mata Tuhan.’’kata orang tua itu.’’Ayah, kenapa aku tak memilih
lapangan yang lain ?Seandainya pilihanku itu sesuatu bencana bagiku, sang
nasiblah yang mengantarkan aku ke sana, jadi seharusnya manusia merasa senang
juga.”
‘’Apa yang ada ini mempunyai pasangan-pasangan. Kalau
sesuatu meleset dari pasangannya, manusialah yang salah mengerjakannya. Satu
senti meleset mengakibatkan melesetnya seratus senti yang lain’’
‘’Sebagaimana perang ini terjadi, umpamanya, bukanlah begitu,
Anakku?’’tukas ayahnya.’’Ada setetes yang tidak beres di kalangan atas, yang
mengakibatkan puluhan, ratusan ,ribuan jiwa manusia hancur. Dan yang setetes
itu harus diselidiki betul-betul. Mungkin perkara sepuluh persen komisi atau
membela celana kotor yang cengeng. Atau tentang kebenaran bibir cewek.’’
‘’Ayah, cukuplah,’’potong anak muda itu, sambil menggeliat
dan mengaduh karena menahan sakit.
‘’Mungkin. Seratus satu kemungkinan. Tetapi sesuatu yang
sudah menjadi bubur, tidak berguna disesali.
Yang terang, aku sudah bekerja
sebaik-baiknya, O, Nasibku. . ..’’
‘’Nasibkulah, Anakku! Nasibkulah yang menyebabkan aku
berbicara, sehingga tidak cukup sekian saja. Aku sudah menyerahkan empat nyawa
anak-anakku kepada sang Politikus dan tidak ada satupun yang kuterima. Sekarang
ia merenggut anakku yang terakhir dan nyawanya paling kusayangi, kau! Kau!
Sesuatu yang bagaimanakah dan bentuk kebenaran macam apakah menghallalkan itu
semuanya? Anakku! Anakku! Tak bisa kutanggungkan lagi . . ..’’
‘’Ayah, cukuplah! Cukuplah!’’
‘’Belum cukup! Aku harus
memutuskan sesuatu yang hebat, biar aku tidak diragukan habis-habisan!
Lihatlah, Anakku! Lihatlah! Gelap gulita dan pekat. Saking gelapnya hampir
hampir aku tak bisa melihat tubuhku sendiri. Tidak ada setitik cahaya pun.
Florance Nightingale telah digondol gagak-gagak. Lembah kebenaran sudah diganti
padang kurus kesangsian. Kau lihat di sana, katedral telah disapu habis rata
dengan tanah dan sekarang ditumbuhi semak belukar. Kau lihat di sana masjid
digerayangi cacing-cacing dan ula-ulat. Kau ihat di sana, perawan-perawan telah
disekap di kamar-kamar. Kau lihat di sana, kuris-kursi pemerintahan sudah
digadaikan. Apakah yang bisa diharapkan lagi, Anakku?’’
‘’Ayah, cukuplah. Seharusnya keluarga kita berbangga. Perang
yang susul-menyusul, kita telah mampu menyambungkan tangan kita.’’
‘’Berbangga? Aku telah kenyang dengannya. Sekarang aku harus
memutuskan sesuatu yang hebat, biar aku tak dirugikan habis-habisan. Anakku,
aku minta sumbanganmu?’’
‘’Lukamu cukup parah, bukan ?’’
‘’Aku tidak tahu . . ..’’
‘’Tiap hari banyak orang-orang berbondong-bondong di batas
kota dari pagi hingga petang atau dari petang hingga pagi untuk menjemput,
kalau-kalau suaminya, saudaranya, anaknya, kawannya, pulang dari pertempuran.
Betapa setianya mereka. O, seandainya mereka tahu apa yang terjadi sesungguhnya
di padang gundul ini! Ibumu akan menyambutmu, juga kawan-kawanmu, juga para
tetangga. Engkau sejenak akan dikagumi untuk kemudian dilupakan
selama-lamanya.’’
‘’Ayah! Apakah Ayah tidak bisa melihat hikmah yang
terkandung dalam semua kejadian ini?’’
‘’Tidak! Aku tidak melihatnya, sebab di situ memang tidak
ada apa-apa!”
Beberepa ekor gagak menubruk-nubruk dinding gerobak. Sedang
udara dingin menusuk-nusuk malam yang lengang itu.
‘’Supaya aku tidak terlalu rugi. Supaya nasibku sedikit
lebih baik, aku minta sumbanganmu.’’
‘’Apa maksud Ayah sebenarnya?’’
‘’Anakku. Aku ingin kau jadi pahlawan.’’
‘’Ayah???’’
‘’Begitu bukan sajak sang Politikus? Oh, bunga penyebar bangkai. Di sana, di sana, pahlawanku tumbuh mewangi. Betapa lezatnya sajak itu, Anakku. Apakah kau tidak bisa
melihat kenikmatan pembunuhan dalam sajak itu?’’
‘’Ayah???”’
Orang tua itu bangkit dan seandainya ada cahaya yang
menerangi wajahnya, akan tampak betapa tegang urat-uratnya dan menyerengai
merah. Lalu ia berkata keras-keras,
‘’Anakku, maafkan ayahmu. Kau harus kubunuh!’’
‘’Ayah dengan cara demikian ayah hendak menjadikanku
pahlawan? Ayah menghalallkank? Aku dan Ayah adalah dua manusia. Di mata Tuhan,
kita masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Aku mempunyai Sang Nasib Pengasuhku
sendiri! Ayah diatur oleh yang lain!
‘’Anakku, kali ini pengasuhmu menyerahkanmu kepadaku!’’
‘’Tidak! Tidak mungkin! Pengasuhku bekerja konstruktif!’’
‘’Ayah!!!
‘’Anakku!!!’’
‘’Ayah ....”
‘’Anakku....’’
***
Sehari sehabis pengangkatan prajurit muda itu sebagai
pahlawan oleh para pembesar di balai kota, maka pagi harinya iring-iring
jenazah yang panjang itu menuju makam pahlawan dengan kemegahan upacara
militer. Banyak pengiring yang menangis. Anak semuda dia dengan keyakinanya,
terlalu sayang untuk pergi.
Suasana siang terasa sepi. Pintu-pintu rumah tertutup rapat.
Anak-anak tidak bermain-main di halaman seperti biasanya. Angin bertiup keras,
hingga keadaan jalan yang panas kemarau itu penuh bertebaran debu-debu.
Hari berikutnya, sehabis penguburan, matahri
mencambuk-cambuk kulit, ketika tiba-tiba jalan di depan balai kota di gemparkan
oleh seorang perempuan membopong mayat.
Orang berduyun-duyun menuju kepadanya, hingga suasana
hiuk-pikuk. Masing-masing menanya apa yang terjadi:
Siapakah wanita aneh itu ? tidak jijikkah ia? Aduh, seorang
perempuan yang berani. Benar? Mayat pahlawan kemarin? Digali lagikah ia? Ya,
Tuhan, oleh tangan ibunya sendiri. Jadi, yang membopong itu ibunya? Aduhai,
satu paduan yang bagus: Ibu Pertiwi membopong Pahlawannya. Bukan begitu,kenapa
tidak demikian? Tampaknya suatu pemandangan yang mengerikan.
Mau dia apakan? Ada sesuatu yang salah? Bagaimana mungkin?
Kemudian para pembesar pada keluar dari balai kota dan turun
mendapatkan orang-orang. Dalam sekejap, orang-orang yang berkerumun itu sudah
sama banyaknya dengan rombongan pengantar jenazah kemarin. Lau di antara
orang-orang yang mengelilingi permepuan dengan mayat itu, tersembullah seorang
tua yang serta-merta berhadapan dengan peristiwa itu.
‘’Ini dia orangnya! Ia adalah suamiku, namun sejak kugali
mayat anakku ini, ia telah kuceraikan. Semalam ia telah bercerita panjang lebar
tentang garis depan. Akhirnya ia pulang membawa tiupan-tiupan buat kita. Mayat
ini sama sekali bukan pahlawan. Dan seandainya ia sanggup bangun, ia akan
berkata kepada kita bahwa ia tidak ingin jadi pahlawan, aku tahu tabiat
anak-anakku. Dialah! Orang laki-laki ini yang membikinnya jadi pahlawan! Dia
membunuhnya! Dia menipu kita!’’
‘’Sebaiknya, aku kena
tipu oleh mereka!’’ Tangis laki-laki itu sambil menunjuk dengan garangnya
kepada para pembesar. Yang ditunjuk melongo dan menarik dadanya undur.
‘’Kita semuanya kena tipu mentah-mentah. Lihatlah aku!
Keluargaku ludes! Tidak ada satu pun yang kudapat!’’
‘’Penghianat!’’ teriak para pembesar bersama-sama
‘’Menurut hukum yang bagaimanakah seorang berhak menyebut
orang lain penghianat atau pahlawan? Kemarin kubawa mayat anakku, anak yang
penghabisan dari empat orang lainnya yang sudah hancur duluan. Perang demi
perang telah memeluk anak-anakku dengan mesranya. Dalam sekejap mata mayat ini
diangkat jadi phlawan. Aku sudah mengira, aku sudah menduga. Sementara kalian
dengan berkaleng-kaleng air mata mengantarkan ke kuburan, aku dengan tertawa
terpingkal-pingkal!’’
‘’Dengan berpijak pada nilai-nilai objektif, akan ada
tipuan-tipuan,’’ kata para pembesar bersama-sama.
‘’Adakah nilai-nilai objektif? Semuanya adalah subjektif!’’
‘’Apa yang kau harapkan sekarang?’’ kata para pembesar
bersama-sama.
‘’Apa yang bisa kau harapkan dari kalian?’’
Lalu laki-laki itu mamandang sekeliling, menatapi wajah demi
wajah:
‘’Kalian orang-orang kecil, sekali-kali boleh pergi ke garis
depan. Hingga kita bisa juga berbicara tentang negara, tentang perang, tentang
ekonomi, tentang sajak, tentang kebun binatang, tentang perempuan. Sudah diborongnya
semua. Lanyas kita disuruh bicara tentang apa?"
‘’Oh, perutku terasa muak! Mual! Hingga mau muntah saja!’’
Tiba-tiba perempuan itu mencabut pistol dari pinggangnya dan
sejenak menggelegar bunyinya memenuhi sudut-sudut kota dan sejenak laki-laki
tua yang ada di hadapannya itu. Perlahan perempuan itu berjongkok di depannya.
Air matanya meleleh.
Suaminya menggeliat menoleh kepadanya:
‘’Perang demi perang berlalu, iseng demi iseng berpadu.’’
Kemudian ia meraih mayat anaknya dan jatuh.
Suasana hening. Sekaliannya dipaku di tempat berdirinya
masing-masing.
Perempuan itu berdiri. Dengan wajah termangu ia memandang ke
atas.
‘’Oh, nasibku, nasibku. Sedang kepada setan pun tak
kuharapkan nasib yang demikian.’’
***
No comments:
Post a Comment